Takdir Allah dan Cara Mukmin Menyikapinya

Ketenangan hati didapat dengan mengimani dan memahami takdir Allah. Seorang mukmin meyakini bahwa musibah, ujian, dan segala sesuatu terjadi berdasarkan ketetapan Allah Ta’ala. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terwujud. Tidak ada satupun yang mampu menghalangi terlaksananya takdir Allah terhadap makhluk-Nya. Dengan keyakinan ini, hati seorang mukmin menjadi tenteram. Ia menyadari bahwa tidak ada alasan untuk berduka atau bersedih berlebihan, karena segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah.

Firman Allah SWT:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ . لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi maupun pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan ini) agar kamu tidak bersedih atas apa yang luput darimu, dan tidak terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22-23).

Dan firman-Nya:

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: ‘Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman’.” (QS. At-Taubah: 51).

Sikap Seorang Mukmin terhadap Takdir

Dengan pemahaman ini, seorang mukmin yang bertauhid tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk menyesali apa yang telah berlalu. Kata “seandainya” tidak akan ditemukan dalam ungkapannya. Ketetapan Allah yang berlaku pada hamba-Nya terbagi dalam dua kemungkinan:

Pertama: Musibah tersebut merupakan akibat dari dosa dan maksiat yang diperbuat hamba.
Allah berfirman:
“Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy-Syura: 30).

Kedua: Musibah tersebut merupakan ujian untuk meningkatkan derajat dan menghapus kesalahan.

Langkah yang harus diambil seorang mukmin setelah menyadari hal ini:

  • Jika musibah disebabkan dosa, segeralah bertaubat, beristighfar, dan kembali kepada Allah. Perbaiki hubungan dengan Sang Pencipta.
    Allah berfirman:
    “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap dalam petunjuk.”(QS. Thaha: 82).
  • Jika musibah murni ujian, maka bersabarlah dan ridhailah ketetapan Allah sambil mengharap pahala dari-Nya.

Baca: Cara Membedakan Musibah sebagai Hukuman atau Ujian 

Dalam kedua kondisi ini, hati seorang mukmin tetap kokoh. Ia tidak akan bersikap lemah, melainkan akan semakin giat beramal shaleh. Jika sebelumnya ia berdosa, ia akan berhenti dan memperbaiki diri. Jika sudah taat, ia akan meningkatkan ketaatannya.

Bahaya Ucapan “Seandainya”

Setan senantiasa berusaha melemahkan hati mukmin dengan menyuntikkan rasa sedih dan penyesalan. Salah satu caranya adalah dengan membisikkan kata “seandainya” tentang masa lalu, baik terhadap apa yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan. Setan membawa manusia hidup dalam khayalan dengan berkata: “Seandainya aku berbuat begini, pasti hasilnya akan berbeda.” Padahal, tidak ada yang mengetahui hakikat sebenarnya.

Setan sangat berambisi menciptakan penyesalan dan keraguan terhadap takdir Allah. Lebih dari itu, setan melemahkan semangat beramal dan membuat seseorang malas beribadah, sibuk meratapi nasib hingga waktunya habis. Allah telah memperingatkan bahwa ini adalah perangai orang munafik, dan Rasulullah ﷺ melarang kita mengikuti jalan ini.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Pada keduanya terdapat kebaikan. Bersemangatlah meraih yang bermanfaat, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika sesuatu menimpamu, janganlah berkata: ‘Seandainya aku berbuat begini, niscaya akan begitu’, tetapi katakanlah: ‘Ini takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi’. Karena ucapan ‘seandainya’ membuka pintu bagi perbuatan setan.” (HR. Muslim no. 6945).

Hadis mulia ini menjelaskan perbedaan antara mukmin yang kuat dan yang lemah, mendorong untuk beramal, serta melarang penyesalan dengan kata “seandainya”. Ucapan semacam ini menunjukkan kurangnya kesabaran terhadap takdir dan seolah menentang ketetapan Allah, sekaligus membuka pintu bagi bisikan setan.

Yang seharusnya dilakukan setelah musibah adalah:

  • Menerima ketetapan Allah
  • Bersabar menghadapi ujian
  • Tetap berusaha melakukan kebaikan tanpa mengeluh

Allah mencela orang-orang yang mengucapkan hal ini saat Perang Uhud:

يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا

“Mereka berkata: ‘Seandainya kami memiliki kekuatan, niscaya kami tidak akan terbunuh di sini’.” (QS. Ali Imran: 154).

Allah membantah mereka:

قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ

“Katakanlah: ‘Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan mati terbunuh akan keluar ke tempat mereka terbunuh’.” (QS. Ali Imran: 154).

Ucapan “seandainya” setelah musibah hanya menimbulkan penyesalan dan melemahkan hati, serta bertentangan dengan iman terhadap takdir.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *