Setiap tahun, ketika bulan Ramadan tiba, masih ada sebagian umat Islam yang keliru memahami makna bulan suci ini. Ramadan kerap dianggap sebagai waktu untuk bermalas-malasan, tidur sepanjang hari, dan menurunkan produktivitas. Padahal, pandangan semacam ini jelas bertentangan dengan akal sehat dan ajaran syariat yang mendorong umat untuk tetap aktif dan seimbang dalam menjalankan ibadah maupun kegiatan sehari-hari. Akibatnya, banyak orang yang mengurangi ibadah dan pekerjaan, memilih untuk bersantai dan menghabiskan waktu dengan hiburan. Pekerjaan yang sedikit pun dilakukan dengan setengah hati dan penuh kelalaian. Selain itu, orang yang berpuasa sering kali mudah marah dan tidak sabar terhadap orang di sekitarnya, dengan alasan bahwa mereka sedang berpuasa.
Produktivitas vs Kemalasan
Sebagian umat Islam beranggapan bahwa bulan Ramadan adalah waktu untuk sepenuhnya meninggalkan pekerjaan demi fokus beribadah, seolah-olah tidak ada ruang untuk bekerja selama bulan suci ini. Padahal, Ramadan sejatinya adalah momen yang luar biasa untuk memperbanyak amal, membangkitkan semangat, memperkokoh keimanan, dan mempersiapkan diri menghadapi sisa tahun dengan lebih baik. Kombinasi antara ibadah dan pekerjaan justru mencerminkan keseimbangan yang diajarkan dalam Islam.. Sebagaimana firman Allah:
“Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197). Namun, mereka justru meninggalkan pekerjaan dan tidak peduli dengannya.
Di sisi lain, terdapat sebagian kelompok yang memilih mengurangi pekerjaan mereka, bukan untuk memperbanyak ibadah, melainkan menghabiskan waktu dengan menonton televisi, bersantai, tidur, atau bermain-main. Waktu pun berlalu tanpa makna, dan Ramadan berakhir tanpa mereka merasakan perjuangan menahan lapar dan haus yang menjadi esensi dari puasa.
Lebih jauh lagi, sebagian orang bahkan membatalkan puasanya dengan dalih bahwa puasa menurunkan produktivitas. Mereka tak hanya berbuka tanpa alasan yang dibenarkan, tetapi juga mengajak orang lain untuk tidak berpuasa. Sambil bersantai di kantor, mereka minum kopi, merokok, dan mengabaikan kesucian bulan Ramadan dengan alasan bahwa era modern menuntut lebih banyak produksi.
Tentu saja, kedua kelompok ini tidak mencerminkan ajaran Islam yang sejati. Mereka gagal meraih tujuan serta hikmah dari puasa. Padahal, Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap moderat dan seimbang, seperti firman Allah: “Dan demikianlah Kami menjadikan kalian umat yang moderat agar kalian menjadi saksi atas manusia, dan Rasul menjadi saksi atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143).
Islam adalah agama yang memadukan akal dan jiwa, ibadah dan kerja, serta menawarkan prinsip-prinsip yang menyeluruh dan mendalam. Ia mengajarkan keseimbangan antara ilmu dan dakwah, dunia dan akhirat, kebutuhan pribadi dan masyarakat, serta generasi masa kini dan yang akan datang.
Agama bukanlah candu yang membuat masyarakat tenggelam dalam kemalasan atau ketidakpedulian, seperti yang diklaim oleh sebagian orang. Sebaliknya, agama telah melahirkan generasi gemilang yang membangun peradaban yang bertahan lebih dari empat belas abad dan menyebar ke seluruh dunia. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, agama ini akan terus menyebar hingga menjangkau seluruh penjuru bumi.
Ibadah dan Kerja Tidak Terpisahkan
Dalam Islam, ibadah dan kerja bukanlah dua hal yang terpisah atau bertentangan, melainkan saling melengkapi dan membutuhkan. Ibadah adalah bagian dari kerja, dan kerja pun merupakan bagian dari ibadah. Dalam Al-Qur’an, kerja selalu dikaitkan dengan iman, menunjukkan betapa eratnya hubungan antara keduanya. Hampir tidak ada ayat yang menyebutkan kerja tanpa iman, atau iman tanpa diikuti dengan kerja. Bahkan, iman sering kali disandingkan dengan amal saleh, sebagaimana firman Allah.:
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. Al-Baqarah: 25).
Terkadang iman diikuti dengan perintah atau larangan, dan keduanya adalah bentuk kerja. Perintah seperti firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al-Baqarah: 153). Larangan seperti firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan.” (QS. Al-Baqarah: 264).
Terkadang Allah memerintahkan kerja secara langsung:
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.’“ (QS. At-Taubah: 105).
Karena itu, iman dan ibadah selalu berjalan seiring dengan kerja. Iman tanpa kerja akan kehilangan maknanya, dan kerja tanpa iman akan kehilangan arah. Jika kerja dianggap sebagai bagian dari ibadah, maka tidak ada konflik antara keduanya, melainkan harmoni yang saling menguatkan.
Rasulullah sebagai Teladan
Rasulullah SAW menggabungkan ibadah dan kerja berdasarkan pandangan ini. Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau pernah memisahkan antara kerja dan ibadah. Bahkan, terkadang beliau mengutamakan ibadah yang penuh dengan kerja daripada ibadah yang hanya berfokus pada ritual. Misalnya, saat beliau berangkat ke Mekah pada bulan Ramadan, beliau berpuasa hingga mencapai daerah tertentu. Ketika orang-orang ikut berpuasa, beliau meminum air dan berkata: “Mereka adalah orang-orang yang durhaka.”
Bahkan, seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW meminta izin untuk berjihad. Nabi SAW bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Nabi SAW berkata: “Maka berjihadlah untuk mereka.”
Nabi SAW juga meninggalkan Ali bin Abi Thalib saat hijrah untuk mengembalikan amanah kepada pemiliknya. Ibnu Abbas pernah memotong i’tikafnya untuk menangani urusan orang lain. Ketika ditanya tentang hal itu, dia menjawab: “Begitulah Nabi SAW melakukannya.”
Abdullah bin Mubarak, seorang ulama besar, lebih memilih jihad sambil menunaikan kewajiban daripada beribadah secara total. Dia mengirim puisi kepada Fudhail bin Iyadh yang berbunyi:
يَا عَابِدَ الْحَرَمَيْنِ لَوْ أَبْصَرْتَنَا # لَعَلِمْتَ أَنَّكَ فِي الْعِبَادَةِ تَلْعَبُ
مَنْ كَانَ يَخْضِبُ جِيدَهُ بِدُمُوعِهِ # فَنُحُورُنَا بِدِمَائِنَا تَتَخَضَّبُ
أَوْ كَانَ يَتْعَبُ خَيْلُهُ فِي بَاطِلٍ # فَخُيُولُنَا يَوْمَ الصُّبِيحَةِ تَتْعَبُ
رِيحُ الْعَبِيرِ لَكُمْ وَنَحْنُ عَبِيرُنَا # رَهَجُ السُّنَابِكِ وَالْغُبَارُ الْأَطْيَبُ
وَلَقَدْ أَتَانَا مِنْ مَقَالِ نَبِيِّنَا # قَوْلٌ صَحِيحٌ صَادِقٌ لَا يَكْذِبُ
لَا يَسْتَوِي وَغُبَارُ خَيْلِ اللَّهِ فِي# أَنْفِ إِمْرِئٍ وَدُخَانُ نَارٍ تَلْهَبُ
“Wahai ahli ibadah di dua tanah suci, jika engkau melihat kami,
Engkau akan tahu bahwa engkau hanya bermain-main dalam ibadah.
Siapa yang membasahi lehernya dengan air mata,
Maka leher kami basah dengan darah.
Jika kuda mereka lelah dalam kebatilan,
Maka kuda kami lelah di medan perang.
Kalian menikmati wewangian, sementara kami menikmati debu dan asap.
Kami telah mendengar perkataan Nabi kami,
Perkataan yang benar dan tidak dusta.
Tidaklah sama debu kuda Allah di hidung seseorang,
Dengan asap api yang membakar.”
Sejarah sebagai Saksi
Sejarah panjang umat Islam menunjukkan bahwa bulan Ramadan adalah simbol produktivitas, kerja keras, dan kemenangan besar. Saat semangat iman berkobar dan takwa memenuhi hati, seruan “Allahu Akbar” menggema di medan-medan perjuangan, serta pertolongan Allah turun meski jumlah pasukan sedikit. Hal ini terbukti dalam berbagai peristiwa besar, seperti Perang Badar, Fathu Makkah, Perang Hittin dan Perang Ain Jalut.
Lantas, dengan segala bukti sejarah ini, apakah masih pantas Ramadan dianggap sebagai bulan kemalasan dan kurangnya keseriusan dalam bekerja? Apakah kita masih rela menyebut agama sebagai candu masyarakat yang melemahkan semangat hidup?
Kerja keras, produktivitas, dan dedikasi terbaik adalah bentuk ibadah kepada Allah, sejajar dengan shalat, puasa, dan qiyamul lail. Bahkan, jika kerja dilakukan selaras dengan ibadah, pahala yang didapat akan semakin besar di sisi Allah. Kerja adalah kewajiban setiap mukmin, dan menghindarinya berarti lari dari perintah agama. Tidak ada keraguan di kalangan ulama tentang pentingnya kerja dalam Islam.
Sayangnya, ada sebagian umat yang menjadikan Ramadan sebagai bulan kemalasan, dengan begadang di malam hari dan tidur sepanjang siang. Andai saja puasa dijalani dengan benar dan tujuan besar dari ibadah ini dipahami, umat ini akan mampu mencapai produktivitas yang mencukupi untuk sisa tahun. Memang, puasa dapat melemahkan tubuh, tetapi di sisi lain, puasa juga memperkuat tekad, mengajarkan kesabaran, dan melatih daya tahan serta kemauan yang kuat.
Ketika perut kosong dari makanan yang membebani tubuh, jiwa menjadi lebih ringan, hati dipenuhi kebahagiaan, dan roh melambung tinggi. Dalam konteks ini, kita dapat memahami sabda Nabi Muhammad SAW:
“Bagi orang yang berpuasa, ada dua kebahagiaan: kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan saat bertemu Tuhannya.”