Allah tidak menetapkan sesuatu melainkan dengan hikmah, baik hikmah tersebut diketahui oleh manusia, tidak diketahui oleh mereka, atau sebagiannya diketahui dan sebagian lainnya tidak. Bagi Allah-lah hikmah yang sempurna yang tidak dapat dijangkau oleh pemahaman dan akal manusia.
Allah Ta’ala telah menyebutkan hikmah di balik disyariatkannya puasa dan kewajibannya atas kita dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Sebagian ulama menyebutkan bahwa di antara bentuk ketakwaan yang dianjurkan melalui puasa adalah agar orang kaya merasakan keadaan orang miskin, sebagaimana mereka merasakan lapar dan kesusahan. Hal ini mendorong orang kaya untuk berbuat baik dan membantu saudaranya yang membutuhkan, dan ini termasuk dalam cakupan ketakwaan.
Ketakwaan adalah istilah yang mencakup segala kebaikan dan meninggalkan segala keburukan. Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Takwa adalah istilah yang mencakup melakukan ketaatan dan meninggalkan kemungkaran.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/492).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata:
“Takwa adalah istilah yang mencakup melakukan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya, karena takwa berasal dari kata ‘wiqayah’ (perlindungan), yaitu seseorang menjadikan perlindungan bagi dirinya dari azab Allah. Tidak ada perlindungan dari azab Allah kecuali dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 24/40).
Tidak ada nash khusus dalam Al-Qur’an atau Sunnah yang menunjukkan bahwa Allah mewajibkan puasa kepada kita khusus untuk merasakan keadaan orang miskin. Namun, ulama yang menyebutkan hal itu membangun pendapatnya berdasarkan bahwa hal tersebut termasuk dalam keumuman takwa yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai hikmah di balik puasa. Mereka melihat bahwa hal ini sesuai dengan keadaan orang yang berpuasa dan sesuai dengan ajaran syariat yang menganjurkan saling membantu, kasih sayang, dan saling mengasihi di antara sesama mukmin.
As-Sa’di rahimahullah berkata:
“Allah menyebutkan hikmah di balik disyariatkannya puasa dengan firman-Nya: ‘Agar kamu bertakwa.’ Puasa termasuk sebab terbesar untuk mencapai takwa, karena di dalamnya terdapat ketaatan terhadap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di antara bentuk takwa yang terkandung dalam puasa adalah bahwa orang yang berpuasa meninggalkan apa yang diharamkan Allah seperti makan, minum, hubungan suami-istri, dan semisalnya, padahal dirinya cenderung kepada hal-hal tersebut. Ia meninggalkannya sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah dan mengharap pahala-Nya. Ini termasuk takwa. Selain itu, puasa melatih diri untuk selalu merasa diawasi oleh Allah, sehingga ia meninggalkan apa yang diinginkan hawa nafsunya meskipun ia mampu melakukannya, karena ia tahu bahwa Allah mengawasinya. Puasa juga mempersempit ruang gerak setan, karena setan mengalir dalam tubuh anak Adam seperti aliran darah. Dengan puasa, pengaruh setan melemah dan maksiat pun berkurang. Orang yang berpuasa juga biasanya meningkatkan ketaatannya, dan ketaatan termasuk sifat takwa. Selain itu, orang kaya yang merasakan lapar akan tergerak untuk membantu orang miskin yang membutuhkan, dan ini termasuk sifat takwa.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 86).
Syaikh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi hafizhahullah berkata:
“Dalam puasa terdapat banyak kebaikan. Puasa mengingatkan orang kaya akan keadaan orang miskin dan yang membutuhkan. Ketika seseorang merasakan lapar dan haus, sementara ia tahu bahwa di akhir hari ia akan mendapatkan makanan dan minuman, ia akan teringat pada orang miskin yang tidak memiliki makanan dan minuman. Oleh karena itu, dikatakan bahwa puasa memiliki manfaat besar bagi manusia, khususnya dalam mengingatkan mereka akan keadaan orang-orang lemah, terutama jika ia termasuk orang kaya dan mampu. Orang kaya mungkin lupa terhadap saudaranya yang lemah dan miskin karena kekayaannya, sebagaimana firman Allah: ‘Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.’ (QS. Al-‘Alaq: 6-7). Ketika seseorang merasa kaya, ia bisa menjadi sombong. Namun, ketika ia merasakan lapar seperti orang miskin dan haus seperti mereka, hal itu akan mengingatkannya pada orang-orang lemah sehingga ia pun berbelas kasih kepada mereka.” (Syarh Zad Al-Mustaqni’, 100/7).
Kita berpuasa sebagai ibadah kepada Allah Ta’ala dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar kita meraih ketakwaan dalam hati kita, yang dengannya kebahagiaan di dunia dan akhirat dapat tercapai. Di antara bentuk takwa adalah merasakan keadaan orang miskin, yang mendorong kita untuk berbuat baik kepada mereka.