Puasa: Menjaga Keikhlasan di Tengah Ujian

Niat adalah dasar diterimanya suatu amalan, dan tidak ada amalan tanpa adanya niat. Amal saleh dan ibadah yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala—seperti shalat, puasa, haji, dan umrah—memerlukan niat yang tulus dan ikhlas hanya untuk Allah Ta’ala. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ:

إنما الأعمالُ بالنيَّات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانتْ هجرتُه إلى الله ورسوله، فهجرتُه إلى الله ورسوله، ومن كانتْ هجرته لدنيا يصيبها أو امرأةٍ ينكحُها، فهجرتُه إلى ما هاجرَ إليه

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia raih atau wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya itu kepada apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih).

Niat memiliki kedudukan yang agung dan peran yang penting dalam kehidupan seorang Muslim. Niatlah yang membedakan antara kebiasaan (adat) dan ibadah, serta memisahkan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya. Imam Ibnu Rajab Al-Hambali (wafat 795 H) rahimahullah berkata:

وأما النيةُ بالمعنى الذي يذكرهُ الفقهاء، وهو: تمييز العبادات عن العادات، وتمييز العبادات بعضها عن بعض، فإن الإمساك عن الأكلِ والشرْبِ يقعُ تارة حِمْية، وتارةً لعدم القُدرة على الأكلِ، وتارة تركًا للشهوات للهِ عز وجل، فيحتاجُ في الصيامِ إلى نيَّةٍ؛ ليتميز بذلك عنْ ترك الطعام على غير هذا الوَجْهِ، وكذلك العباداتُ؛ كالصلاةِ والصيامِ، منْها نفلٌ، ومنْها فرضٌ، وكذلك الصدقةُ تكونُ نفلًا، وتكونُ فرضًا

“Adapun niat dalam makna yang disebutkan oleh para fuqaha, yaitu membedakan antara ibadah dan kebiasaan, serta membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya. Sebab, menahan diri dari makan dan minum bisa terjadi karena diet, karena tidak mampu makan, atau karena meninggalkan syahwat demi Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, dalam puasa diperlukan niat untuk membedakannya dari sekadar meninggalkan makanan tanpa tujuan ibadah. Demikian juga dengan ibadah-ibadah lainnya, seperti shalat dan puasa, ada yang bersifat sunnah dan ada yang wajib. Begitu pula sedekah, ada yang sunnah dan ada yang wajib.” 1

Kewajiban Niat dalam Puasa Ramadhan

Niat dalam puasa wajib (seperti puasa Ramadhan) disyaratkan harus dilakukan pada malam hari sebelum terbit fajar. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ:

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصيَامَ مِنْ الليْلِ، فَلا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari, maka tidak ada puasa baginya.” (Sunan An-Nasa’i, 2334).

Maksudnya, siapa yang tidak berniat dan bertekad untuk berpuasa pada malam hari, maka puasanya tidak sah. Niat tempatnya di dalam hati, sehingga tidak perlu diucapkan dengan kata-kata tertentu, seperti mengatakan: “Saya berniat puasa besok.” Tidak ada lafal khusus untuk niat, seperti yang sering ditemukan pada jadwal imsakiyah Ramadhan di beberapa negara: “Dengan niat puasa besok hari dari bulan Ramadhan.” Lafal seperti ini tidak memiliki dasar atau sandaran yang sah. Para ulama bahkan menyatakan bahwa mengucapkan niat adalah bid’ah dan perkara baru dalam agama yang harus dihindari, karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Niat dalam puasa cukup dengan terlintas dalam hati seorang Muslim bahwa dia akan berpuasa besok, atau dia bertekad dalam hatinya untuk berpuasa besok. Adapun puasa sunnah, tidak disyaratkan niat pada malam hari. Seorang Muslim boleh berniat puasa kapan saja, sesuai dengan praktik Nabi Muhammad ﷺ. 2

Perkara Perusak Pahala Puasa

Yang dituntut dari orang yang berpuasa adalah mengikhlaskan niat hanya untuk Allah Ta’ala semata, serta menghindari riya’, sum’ah (ingin didengar), mencari popularitas, dan sikap pamer. Semua itu dapat merusak amal saleh dan melemahkan keikhlasan. Sebab, “Amal tanpa keikhlasan dan tanpa mengikuti contoh Nabi, seperti seorang musafir yang mengisi kantongnya dengan pasir, memberatkannya tetapi tidak memberinya manfaat.” Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah. 3

Riya’ dan pamer dapat membunuh ruh ibadah dan meruntuhkan bangunan keikhlasan. Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya semata, tanpa sekutu. Allah berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ 

“Padahal mereka hanya diperintahkan untuk menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. Al-Bayyinah: 5).

Dalam hadits qudsi, Allah berfirman:

أنا أغنَى الشُّركاءِ عن الشركِ، مَن عمِل عملًا أشركَ فيه معِي غيرِي، تركتُه وشركَه

“Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku di dalamnya, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya.” (Shahih Muslim, 2985).

Karena puasa mengandung rahasia antara Allah Ta’ala dan hamba-Nya yang tidak diketahui oleh siapa pun, maka Allah mengkhususkan puasa dengan menyandarkannya kepada-Nya sebagai bentuk pemuliaan dan pengagungan. Dalam hadits qudsi, Allah berfirman:

الصومُ لي وأنا أَجزي به، يدَع شهوتَه وأكلَه وشُربَه من أجلي

“Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku.” (Shahih Al-Bukhari: 7492).

Imam Al-Qurthubi berkata:

وإنما خصَّ الصوم بأنه لَهُ – وإنْ كانت العباداتُ كلها له – بأن الصومَ سرٌّ بين العبد وبين ربه لا يظهرُ إلا له، فلذلك صار مختصًّا به، وما سواهُ من العباداتِ ظاهرٌ، ربما فعلَه تصنعًا ورياءً، فلهذا صار أخصَّ بالصوم من غيره

“Puasa dikhususkan sebagai milik-Nya—meskipun semua ibadah adalah milik-Nya—karena puasa adalah rahasia antara hamba dan Rabb-nya yang tidak terlihat oleh siapa pun kecuali Allah. Oleh karena itu, puasa menjadi khusus bagi-Nya. Sedangkan ibadah-ibadah lainnya bersifat lahiriah, terkadang dilakukan dengan pamer dan riya’. Maka dari itu, puasa lebih khusus bagi Allah daripada ibadah lainnya.” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurthubi, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Muassasah Ar-Risalah, 2006, jilid 3, hlm. 123).

Betapa kita sangat membutuhkan keikhlasan niat dan penyuciannya dari segala kotoran syirik dan riya’ di bulan yang mulia ini. Bulan Ramadhan adalah kesempatan tahunan untuk melatih diri, menyucikan jiwa, mengangkat derajatnya, mendidiknya, membiasakannya dengan keikhlasan, memperkuat hubungannya dengan Rabb-nya, serta membebaskannya dari penyakit hati dan ruhani. Baca artikel terkait.

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:

لا يجتمعُ الإخلاص في القلب ومحبة المدح والثناء، والطمع فيما عند الناس، إلا كما يجتمعُ الماء والنار، والضبُّ والحوتُ، فإذ حدَّثتْك نفسُك بطلبِ الإخلاص، فأقبلْ على الطمع أولًا، فاذْبَحْه بسكين اليأس، وأَقْبِلْ على المدحِ والثناء، فازهَدْ فيْهما زُهْدَ عشَّاق الدنيا في الآخرة، فإذا استقامَ لك ذبحُ الطمع والزهد في الثناء والمدح، سَهُل عليك الإخلاص

“Keikhlasan dalam hati tidak akan berkumpul dengan kecintaan terhadap pujian dan sanjungan, serta keinginan terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain, sebagaimana air dan api, atau kadal dan ikan tidak akan berkumpul. Jika dirimu mengajakmu untuk mencari keikhlasan, maka hadapilah keinginan duniawi terlebih dahulu, sembelihlah dengan pisau keputusasaan. Kemudian, hadapilah pujian dan sanjungan, dan tinggalkanlah keduanya sebagaimana orang yang mencintai dunia meninggalkan akhirat. Jika kamu berhasil menyembelih keinginan duniawi dan meninggalkan pujian serta sanjungan, maka keikhlasan akan mudah bagimu.” (Fawa’id Al-Fawa’id: 421).

 

Catatan Kaki
  1. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Ibnu Rajab Al-Hambali, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis, Muassasah Ar-Risalah, 1999, jilid 1, hlm. 85).[]
  2. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Dar Ats-Tsuraya, 2003, jilid 19, hlm. 177).[]
  3. (Al-Fawa’id, Ibnu Qayyim, tahqiq Muhammad ‘Uzair Syams, di bawah pengawasan Bakr Abdullah Abu Zaid, Dar ‘Alam Al-Fawa’id, hlm. 66).[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *