Mengejar ketenaran adalah kelemahan dalam akidah tauhid. Itu merupakan wujud nyata dari riya’—sifat yang bisa menghapus pahala amal dalam timbangan syariat. Nabi ﷺ bersabda:
“Barangsiapa memakai pakaian ketenaran (untuk pamer), Allah akan mengenakan pakaian kehinaan padanya di Hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
Syahr bin Hausyab juga memperingatkan:
“Siapa yang menunggang hewan ternama atau mengenakan pakaian mencolok hingga terkenal, Allah akan berpaling darinya—meskipun ia adalah orang mulia.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 4/375)
Bahkan, ketenaran dalam hal ketakwaan, ilmu, zuhud, atau wara’ juga termasuk dalam ancaman ini. Jika seseorang dengan sengaja ingin dikenal karena sifat-sifat tersebut demi popularitas, maka ia telah jatuh dalam jebakan riya’.
Imam Al-Baihaqi menegaskan:
“Segala sesuatu yang membuat seseorang terkenal, wajib dijauhi.” (Aunul Ma’bud, 9/171)
Namun, bagi mereka yang dikenal karena ilmu, kezuhudan, atau ketakwaan dengan niat yang murni dan ikhlas, maka hal itu tidak termasuk dalam kategori tercela. Meski begitu, ia tetap harus senantiasa mengintrospeksi hatinya agar terhindar dari niat yang menyimpang.
Contoh Keteladanan Para Sahabat
Para sahabat Nabi ﷺ sangat menghindari ketenaran, layaknya rusa yang berlari dari singa.
Buraidah bin Al-Hushaib pernah menyesali pengalaman dirinya dalam Perang Khaibar:
“Aku ikut bertempur dalam Perang Khaibar. Aku termasuk di antara mereka yang naik ke celah pertahanan (musuh, hingga orang-orang melihat keberanianku. Saat itu, aku mengenakan jubah merah. Aku merasa, tidak ada dosa yang lebih besar dalam hidupku selain ini.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 2/470)
Sikap luar biasa juga ditunjukkan oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika terjadi perselisihan kepemimpinan dalam Perang Dzatus Salasil. Ia berkata kepada Amr bin Al-Ash:
“Demi Allah, wahai Amr, jika engkau tidak ingin mematuhiku, maka aku yang akan mematuhimu.”
Tanpa ragu, ia menyerahkan kepemimpinan demi menghindari popularitas yang tidak ia inginkan. (Al-Bidayah wan Nihayah, 4/272)
Khalid bin Al-Walid menunjukkan sikap serupa ketika diminta oleh Khalifah Umar untuk menyerahkan komando pasukan kepada Abu Ubaidah. Ia dengan penuh ketulusan menjawab:
“Aku mendengar dan taat kepada Amirul Mukminin.”
Sikap semacam ini patut diapresiasi. Seandainya seorang jenderal terkenal di masa kini mengalami perlakuan serupa, mungkin ia justru akan berusaha mempertahankan posisi dan ketenarannya dengan segala cara.
Hakikat Ketenaran dalam Islam
Jika ketenaran adalah sesuatu yang mulia, tentu Allah akan menganugerahkannya kepada para nabi dan rasul. Namun, dari ratusan ribu nabi dan ratusan rasul, hanya 25 nama yang disebut dalam Al-Qur’an. Ini menjadi bukti bahwa kemuliaan sejati bukanlah pada popularitas, melainkan pada ketakwaan.
Para ulama salaf sangat keras dalam memperingatkan bahaya cinta ketenaran. Sufyan Ats-Tsauri berkata:
“Berhati-hatilah dengan ketenaran! Aku belum pernah bertemu seorang pun (yang bertaqwa) kecuali ia melarangnya.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 7/260)
Ibrahim bin Adham menambahkan:
“Tidak akan jujur kepada Allah seorang hamba yang mencintai ketenaran.” (Al-Muntazham, 3/61)
Refleksi untuk Zaman Sekarang
Inilah jalan hidup salafus shalih. Bandingkan dengan zaman sekarang, di mana keunggulan sering kali diukur dari jumlah pengikut, pujian, dan popularitas. Saat ketenaran menjadi tujuan utama, yang muncul adalah kebohongan, kemunafikan, dan kepalsuan. Popularitas sering kali justru menenggelamkan orang-orang yang sebenarnya layak dihormati, sementara orang-orang yang kurang pantas malah diangkat ke permukaan.
Ibnu Khaldun mencatat:
“Jarang sekali ketenaran diberikan kepada yang benar-benar berhak. Banyak orang terkenal karena keburukan, meskipun kenyataannya tidak seperti itu. Sebaliknya, banyak orang yang layak dikenang justru terlupakan. Ketenaran sering kali dipengaruhi oleh faktor subjektivitas, fanatisme, atau bahkan pencitraan.” (Muqaddimah Ibnu Khaldun, 1:150)
Maka, seharusnya ketenaran bukanlah tujuan, melainkan hanya efek samping dari amal shaleh. Jika seseorang diuji dengan popularitas, ia harus bersabar dan berusaha menguranginya tanpa mengabaikan kewajibannya.
Bagi mereka yang terhindar dari ketenaran, bersyukurlah. Nikmati kebebasan hidup tanpa tekanan pengawasan manusia. Dalam taman keikhlasan, kita bisa beribadah seolah melihat Allah—atau setidaknya merasa Dia selalu melihat kita. Baca: Jebakan Cinta Popularitas
Jika melihat orang terkenal, hendaknya kita mengucapkan:
“Alhamdulillah yang telah menyelamatkanku dari cobaanmu dan melebihkanku atas banyak hamba-Nya.”