Kelalaian dari Kehidupan Akhirat dan Tingkatannya

Kelalaian (Al-Ghaflah) adalah suatu kondisi yang sering dialami oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tahukah kita bahwa kelalaian memiliki tingkatan yang berbeda-beda? Dalam ajaran Islam, kelalaian tidak selalu dianggap negatif, selama tidak melalaikan kewajiban utama sebagai hamba Allah. Artikel ini akan membahas tingkatan kelalaian, dampaknya, serta bagaimana menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat.

Tingkatan Kelalaian yang Tercela

Kelalaian yang paling tinggi dan tercela adalah ketika seseorang sepenuhnya tenggelam dalam urusan duniawi. Ia sibuk dengan harta, jabatan, dan hawa nafsu, sehingga melupakan kewajiban agamanya. Orang seperti ini tidak mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat dan tidak mengharapkan pertemuan dengan Allah. Allah Zmenggambarkan orang-orang seperti ini dalam firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ ‎﴿٧﴾‏ أُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمُ النَّارُ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ ‎﴿٨﴾

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, merasa puas dengan kehidupan dunia, dan merasa tenteram dengannya, serta orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya adalah neraka disebabkan apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 7-8).

ٍSyaikh Assa’di menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa orang yang berada dalam tingkatan kelalaian ini diancam oleh Allah dengan adzab neraka karena mereka telah menjadikan dunia sebagai tujuan utama, sehingga ia lupa bahwa kehidupan akhirat adalah tempat kembali yang abadi. Baca Bahaya Lalai!

Kelalaian Relatif yang Wajar

Selain kelalaian yang tercela, ada juga kelalaian relatif yang wajar dan hampir tidak bisa dihindari oleh manusia. Kelalaian ini terjadi ketika seseorang tetap melaksanakan kewajiban agamanya, seperti shalat pada waktunya, menunaikan zakat, dan menjauhi larangan-larangan Allah, namun ia juga sibuk dengan urusan dunia, seperti bekerja, mengurus keluarga, atau memikirkan kebutuhan sehari-hari.

Kelalaian seperti ini tidaklah tercela, karena manusia memang dituntut untuk memenuhi kebutuhan dunianya. Namun, yang lebih utama adalah senantiasa mengingat Allah dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Rasulullah e pernah memberikan nasihat kepada sahabatnya, Hanzhalah, yang merasa dirinya munafik karena terkadang lalai ketika sibuk dengan urusan dunia. Rasulullah bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بيَدِهِ، إنْ لَوْ تَدُومُونَ علَى ما تَكُونُونَ عِندِي وفي الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ المَلَائِكَةُ علَى فُرُشِكُمْ وفي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

“Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian tetap dalam keadaan seperti ketika berada di sisiku dan dalam dzikir, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidur dan di jalan-jalan. Namun, wahai Hanzhalah, sesaat demi sesaat (beribadah dan beristirahat).” (HR. Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat adalah hal yang wajar. Manusia tidak diharuskan untuk terus-menerus berada dalam kondisi dzikir dan ibadah, tetapi juga diperbolehkan untuk beristirahat dan memenuhi kebutuhan dunianya.

Kelalaian yang Terpuji

Menariknya, sebagian ulama seperti Ibnu al-Jauzi menganggap bahwa kelalaian dalam kadar tertentu justru diperlukan. Dalam kitab Shayd al-Khathir, Ibnu al-Jauzi menjelaskan bahwa tanpa sedikit kelalaian, manusia tidak akan mampu menjalani kehidupan dunia dengan baik. Seandainya seseorang terus-menerus memikirkan kematian dan akhirat, ia mungkin tidak akan mampu bekerja, menuntut ilmu, atau bahkan menulis kitab.

Ibnu al-Jauzi menyamakan kelalaian dengan garam dalam makanan. Garam diperlukan untuk memberi rasa, tetapi jika berlebihan, makanan akan menjadi tidak enak. Demikian pula dengan kelalaian. Jika dalam kadar yang wajar, kelalaian justru membantu manusia untuk menjalani kehidupan dunia dengan baik. Namun, jika berlebihan, ia akan menjadi tercela dan merugikan.

Keseimbangan Hidup: Dunia dan Akhirat

Islam mengajarkan keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Manusia diperbolehkan untuk bekerja, mencari nafkah, dan memenuhi kebutuhan dunianya, asalkan tidak melupakan kewajiban utama sebagai hamba Allah. Rasulullah e mengajarkan kita untuk membagi waktu antara ibadah, bekerja, dan beristirahat.

Kunci dari keseimbangan ini adalah kesadaran bahwa dunia hanyalah sementara, sedangkan akhirat adalah kehidupan yang abadi. Dengan kesadaran ini, kita akan tetap fokus pada tujuan utama, yaitu meraih ridha Allah, tanpa mengabaikan tanggung jawab kita di dunia.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *