Tidak diragukan lagi bahwa hati manusia cenderung kepada orang yang lembut dan bersikap ramah, serta menjauh dari orang yang kasar dan keras. Allah Zberfirman:
“Dan jika engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159).
Seorang dai memiliki tanggung jawab untuk menarik hati manusia agar mau menerima ajaran Allah. Salah satu cara efektif untuk mewujudkan hal ini adalah dengan bersikap lemah lembut dan ramah dalam menyampaikan dakwah
Sikap ini sangat dianjurkan dalam Islam, dan karena itulah para nabi dan orang-orang saleh memilikinya. Namun, ada juga situasi di mana dakwah dengan kelembutan dan kelemahlembutan harus digantikan dengan kekerasan dan ketegasan. Hal ini didasarkan pada nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah, serta dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan tabi’in.
Namun, ada beberapa kesalahpahaman di kalangan para dai tentang hal ini. Ada yang menganggap bahwa dakwah dengan kelembutan berarti tidak peduli terhadap agama atau bergaul dengan orang-orang fasik. Ada juga yang membatasi dakwah hanya pada kelembutan, padahal ini bertentangan dengan Sunnah. Di sisi lain, ada yang terlalu cepat menggunakan kekerasan dalam dakwah tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.
Untuk menghilangkan kebingungan ini dan memahami Sunnah serta kebenaran dalam dakwah, agar dakwah kita kepada Al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman salafus saleh berhasil, saya mengangkat topik ini dengan merujuk pada apa yang terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan penerapannya oleh salafus saleh.
1. Makna Kelembutan dan Kelemahlembutan, serta Perbedaannya dengan Mudahanah
Kelembutan adalah lawan dari kekasaran. Allah SWT berfirman:
“Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) bersikap lemah lembut terhadap mereka.”
(QS. Ali Imran: 159). Para mufassir menjelaskan bahwa kelembutan mencakup sikap ramah, akhlak yang baik, dan kesabaran dalam menghadapi kesalahan yang dilakukan oleh umat Islam.
Kelemahlembutan adalah lawan dari kekerasan dan kekasaran. Ini berarti bersikap ramah dalam perkataan dan perbuatan, serta memilih cara yang paling mudah.
Sedangkan mudahanah adalah bersikap ramah dengan orang fasik tanpa mengingkari kemungkaran yang dilakukannya, atau melihat kemungkaran dan mampu menghentikannya tetapi tidak melakukannya karena ingin menjaga perasaan pelakunya atau karena kurang peduli terhadap agama. Ini termasuk dalam kategori mudahanah yang haram.
Allah berfirman,
“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)” (Qs. Al-Qalam: 9)
2. Nash-nash yang Menunjukkan Pentingnya Seorang Dai Memiliki Kelembutan dan Kelemahlembutan, serta Pendapat Ulama
Allah Zberfirman:
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44). Perkataan yang lembut dapat, dengan izin Allah, mengingatkan atau menimbulkan rasa takut.
Allah Zjuga berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik.”
(QS. An-Nahl: 125). Artinya, dengan cara yang paling baik dalam berdebat, yaitu dengan kelembutan dan kelemahlembutan, tanpa kekasaran atau kekerasan.
Rasulullah ebersabda:
“Sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu kecuali ia menghiasinya, dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali ia merusaknya.”
(HR. Muslim). Kelembutan menghiasi segala sesuatu dan menarik hati manusia.
Rasulullah e juga bersabda:
“Ya Allah, barang siapa yang berbuat lemah lembut terhadap umatku, maka berilah ia kelembutan. Dan barang siapa yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia.”
(HR. Ahmad). Orang yang bersikap lemah lembut akan mendapatkan doa Nabi, sedangkan yang menyusahkan orang lain akan mendapatkan kesulitan dari Allah.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Musa f bahwa Rasulullah e bersabda kepada Muadz bin Jabal dan Abu Musa ketika mengutus mereka:
“Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.”
Tidak diragukan lagi bahwa mempermudah dan memberi kabar gembira adalah bagian dari kelemahlembutan.
3. Contoh Sikap Tawadhu’ (Rendah Hati) dan Kelemahlembutan Rasulullah SAW Terhadap Orang yang Tidak Tahu:
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik f, ia berkata:
“Suatu ketika, Nabi emelewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Beliau pun berkata kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.’ Wanita itu menjawab, ‘Jauhilah aku! Kamu tidak mengerti musibah yang menimpaku.’ Wanita itu tidak mengenali bahwa yang berbicara adalah Rasulullah SAW. Kemudian, ada yang memberitahunya bahwa itu adalah Nabi e. Wanita itu pun mendatangi Nabi SAW, tetapi ia tidak menemukan penjaga di sekitarnya. Ia berkata, ‘Aku tidak mengenalimu.’ Nabi SAW lalu bersabda, ‘Sesungguhnya kesabaran yang sejati adalah pada saat pertama kali musibah itu menimpa.’” (HR. Bukhari).
Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari Muawiyah bin Al-Hakam f, ia berkata:
“Suatu ketika, aku sedang shalat bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang bersin, lalu aku mengucapkan, ‘Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu).’ Orang-orang pun memandangiku dengan heran. Aku berkata, ‘Aduh, mengapa kalian memandangiku seperti itu?’ Mereka lalu menepuk-nepuk paha mereka (sebagai isyarat agar aku diam). Ketika aku melihat mereka memintaku diam, aku pun diam. Setelah selesai shalat, Nabi SAW—demi ayah dan ibuku sebagai tebusannya— tidak pernah melihat seorang pengajar sebelum atau sesudah Rasulullah SAW yang lebih baik dalam mengajar. Beliau tidak memarahiku, tidak memukulku, dan tidak mencaciku. Beliau hanya bersabda, ‘Sesungguhnya dalam shalat ini, tidak boleh ada percakapan manusia. Yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur’an.’” (HR. Muslim).
Mu’awiyah merasa sangat terkesan dengan cara Rasulullah e mengajarinya, sehingga ia mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat seorang pengajar sebelum atau sesudah Rasulullah SAW yang lebih baik dalam mengajar.
Dalam Sahih Bukhari, Anas bin Malik fberkata:
“Aku melayani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh tahun. Beliau tidak pernah berkata kepadaku ‘uff’ (ungkapan kekesalan) sama sekali, dan beliau tidak pernah berkata kepadaku untuk sesuatu yang aku lakukan: ‘Mengapa kamu melakukannya?’ atau untuk sesuatu yang aku tidak lakukan: ‘Mengapa kamu tidak melakukannya?'” (HR. Bukhari)
Hadits-hadits di atas menunjukkan contoh teladan Rasulullah e dalam mengajarkan sesuatu dengan lemah lembut dan bijaksana, meskipun ada kesalahan yang dilakukan. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa Mu’awiyah bin Al-Hakam memuji Rasulullah e sebagai pengajar terbaik yang pernah ditemuinya.
Imam Nawawi p berkata:
“Dalam kisah ini, terdapat teladan dari akhlak Rasulullah e dalam bersikap lemah lembut kepada orang yang tidak tahu, mengajarkan dengan baik, dan bersikap ramah kepadanya.”
Kelemahlembutan Rasulullah e Terhadap Orang Badui yang Kencing di Masjid:
Rasulullah e pernah menunjukkan kelemahlembutannya terhadap seorang badui yang kencing di dalam masjid. Beliau tidak marah, tetapi justru mengajarkan dengan cara yang baik dan penuh kesabaran.
Kelemahlembutan Rasulullah SAW Terhadap Pemuda yang Meminta Izin untuk Berzina:
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Umamah f, ia berkata:
“Seorang pemuda datang kepada Nabi e dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina.’ Para sahabat yang mendengar langsung memarahi dan menghardiknya. Namun, Rasulullah SAW justru berkata, ‘Mendekatlah.’ Pemuda itu pun mendekat dan duduk di dekat Nabi SAW. Beliau lalu bertanya, ‘Apakah kamu suka jika hal itu dilakukan terhadap ibumu?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah.’ Nabi e berkata, ‘Begitu pula orang lain, mereka tidak suka hal itu dilakukan terhadap ibu mereka.’ Beliau melanjutkan, ‘Apakah kamu suka jika hal itu dilakukan terhadap putrimu? Saudarimu? Bibimu? atau tantemu?’ Pemuda itu terus menjawab, ‘Tidak, demi Allah.’ Kemudian, Rasulullah e meletakkan tangannya pada pemuda itu dan berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya.’ Setelah itu, pemuda itu tidak lagi terlintas untuk melakukan perbuatan buruk tersebut.” (HR. Ahmad).
4. Beberapa Situasi di Mana Dakwah dengan Kelembutan Digantikan dengan Kekerasan
Tidak semua situasi memerlukan dakwah dengan kelembutan. Ada kondisi di mana kekerasan dan ketegasan diperlukan, seperti ketika hukum Allah dilanggar, saat menghadapi orang yang keras kepala, atau ketika ada penyelewengan dari orang yang tidak diharapkan.
Contohnya adalah ketika Rasulullah e marah karena ada orang yang melanggar hukum Allah, atau ketika beliau menghadapi orang-orang yang mengejek dan meremehkan dakwah.
5. Pentingnya Mempertimbangkan Konsekuensi dari Dakwah dengan Kekerasan
Kekerasan dalam dakwah harus digunakan dengan bijaksana dan hanya ketika diperlukan. Jika kekerasan justru menimbulkan kerusakan yang lebih besar, maka tidak boleh digunakan. Rasulullah e pernah mencegah Umar bin Khattab funtuk membunuh Abdullah bin Ubay, seorang munafik, karena khawatir akan menimbulkan fitnah yang lebih besar.
Kesimpulan:
Seorang dai harus memiliki kelembutan dan kelemahlembutan dalam berdakwah. Namun, ketika dihadapkan pada situasi di mana ada penentangan, pelecehan terhadap hukum Allah, atau pelanggaran dari orang yang tidak diharapkan, maka kekerasan dan ketegasan diperlukan. Semua ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam dakwahnya.