Dari Sufyan bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku satu ucapan tentang Islam yang tidak perlu lagi kutanyakan kepada selainmu.'” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Katakanlah: ‘Aku beriman kepada Allah,’ lalu beristiqamahlah.” (HR. Muslim).
Hadits mulia ini mengajarkan bahwa setelah mengikrarkan keimanan, seorang hamba diperintahkan untuk istiqamah . Istiqamah adalah sebuah sikap konsistensi dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, baik dalam ucapan maupun perbuatan, tanpa terpengaruh oleh keadaan atau godaan. Sikap ini mencerminkan keteguhan hati dan komitmen untuk tetap berada di jalan yang benar, meskipun menghadapi berbagai tantangan. Dalam kehidupan sehari-hari, istiqamah menjadi bukti nyata keimanan seseorang yang diwujudkan melalui kebiasaan baik yang terus dipelihara. Dengan istiqamah, seseorang dapat mencapai keberkahan dan ketenangan jiwa.
Ramadan sebagai Momentum Perubahan
Bagi seorang muslim yang telah menghabiskan Ramadan dengan berpuasa di siang hari dan shalat malam di waktu gelap, lalu membiasakan diri berbuat kebajikan, sudah selayaknya ia tetap teguh dalam ketaatan kepada Allah. Inilah hakikat seorang hamba sejati. Bukankah Allah yang menguasai semua bulan-bulan? Bukankah Dia Maha Menyaksikan segala perbuatan hamba-Nya?
Bukti Keberhasilan Ramadan
Keistiqamahan setelah Ramadan, dibarengi dengan baiknya ucapan dan perbuatan, adalah bukti nyata keberhasilan seseorang memetik hikmah Ramadan. Inilah indikasi diterimanya amal dan pertanda keberuntungan. Ingatlah, amal seorang mukmin tidak boleh berhenti hanya karena bergantinya bulan. Ibadah harus terus berlanjut hingga maut menjemput. Firman Allah:
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu kematian.” (QS. Al-Hijr: 99).
Jika shalat Tarawih telah usai, masih terbuka luas kesempatan untuk qiyamul lail sepanjang tahun. Jika waktu zakat fitrah telah berlalu, masih ada zakat wajib dan sedekah sunnah yang bisa dikeluarkan kapan saja. Demikian pula dengan tilawah Al-Qur’an, tadabur, dan segala bentuk amal shaleh—semuanya tetap dituntut di setiap waktu.
Sungguh, di antara kasih sayang Allah adalah Dia membuka banyak pintu ketaatan dan memvariasi jalan kebaikan, agar semangat beribadah seorang muslim tetap menyala dan pengabdiannya kepada Sang Khalik terus berlanjut.
Peringatan: Jangan Jadi Musiman
Namun miris, sebagian orang hanya bersemangat beribadah di bulan Ramadan. Mereka rajin shalat berjamaah di masjid, khatam berkali-kali, dan gemar bersedekah. Tapi begitu Ramadan pergi, semangat itu pun menguap. Bahkan ada yang sampai meninggalkan kewajiban seperti shalat berjamaah—khususnya Subuh—lalu terjerumus dalam maksiat: tidur hingga luput shalat, asyik dengan hiburan duniawi, atau menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat. Mereka bagai membongkar bangunan yang baru saja didirikan. Na’udzubillah, ini adalah pertanda tertolaknya amal dan indikasi kerugian. Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian.
Taubat Bukan Ritual Musiman
Orang-orang seperti ini seolah memandang taubat dan meninggalkan maksiat sebagai ritual musiman yang hanya berlaku selama Ramadan. Mereka berhenti bermaksiat karena Ramadan, bukan karena takut kepada Allah. Alangkah celakanya orang yang hanya mengenal Rabb-nya di bulan Ramadan!
Patut disadari, kemampuan berpuasa Ramadan adalah nikmat besar dari Allah. Sudah sepantasnya kita bersyukur dengan memuji-Nya. Bukankah Allah berfirman setelah menyempurnakan nikmat puasa:
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Salah satu wujud syukur adalah berpuasa Syawal dan terus beramal shaleh. Adapun membalas nikmat bisa berpuasa Ramadan dengan bermaksiat pascanya, atau malas shalat berjamaah, maka ini termasuk mengkufuri nikmat. Sungguh berbahaya orang yang melakukan hal ini.
Seharusnya, sebagai muslim sejati, kita memuji Allah atas taufik-Nya sehingga bisa berpuasa dan shalat malam, lalu menjadikan diri lebih baik setelah Ramadan. Semangat beribadah harus semakin berkobar, kecintaan pada kebaikan kian membara, dan ketangkasan menunaikan kewajiban terus meningkat. Jadikan Ramadan sebagai madrasah rohani yang meninggalkan bekas. Dan selalu ada kekhawatiran: jangan-jangan amal kita tidak diterima. Bukankah Allah hanya menerima amal orang-orang bertakwa?
Teladan Salafush Shalih
Para salafush shalih tidak hanya bersungguh-sungguh dalam beramal, tapi lebih dari itu, mereka sangat memperhatikan apakah amal mereka diterima atau tidak. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berpesan:
“Bersemangatlah kalian untuk memastikan amal diterima, melebihi semangat kalian dalam beramal. Tidakkah kalian mendengar firman Allah: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa’?” (QS. Al-Ma’idah: 27).
Suatu ketika, Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya tentang makna ayat:
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Mu’minun: 60).
“Apakah mereka orang-orang yang minum khamr dan mencuri?” tanya Aisyah. Rasulullah menjawab: “Tidak, wahai putri Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, namun mereka takut amalnya tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang berlomba dalam kebaikan.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani).
Maka waspadalah! Jangan sampai terjadi kemerosotan setelah hidayah, atau penyimpangan setelah istiqamah. Teruslah berkomitmen dalam kebaikan, dan selalu memohon husnul khatimah kepada Allah. Baca Kemudahan Melakukan Ketaatan Semata-mata dari Allah