Etika Dalam Bercanda

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering bercanda dengan para sahabatnya, dan mereka pun bercanda dengan beliau. Beliau juga bermain-main dengan keluarganya, dan mereka pun bermain-main dengan beliau. Setiap canda yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah kata-kata yang tidak mengandung kebohongan, dan beliau hanya mengatakan kebenaran. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا. قَالَ: «إِنِّي لاَ أَقُولُ إِلاَّ حَقًّا

“Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, engkau sering bercanda dengan kami.’ Beliau bersabda: ‘Aku hanya mengatakan kebenaran.'” (HR. Tirmidzi, hadits shahih).

Canda ada dua macam; ada canda yang terpuji dan ada yang tercela. Canda yang terpuji adalah yang tidak dicampuri dengan hal-hal yang dibenci oleh Allah Ta’ala, tidak mengandung dosa, dan tidak memutus silaturahmi. Adapun canda yang tercela adalah yang menimbulkan permusuhan, menghilangkan kewibawaan, memutus persahabatan, dan membuat orang yang hina berani melakukannya.

Hukum asal bercanda adalah boleh, dengan syarat tidak mengandung hal-hal yang haram seperti kebohongan, menakuti-nakuti, dan sebagainya. Canda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabatnya bukanlah untuk main-main atau sekadar hiburan, melainkan bagian dari pendidikan beliau kepada mereka. Ketika ditanya tentang canda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang ulama salaf berkata: “Beliau memiliki kewibawaan yang agung,” dan beliau bercanda tanpa mengatakan kecuali kebenaran.

Di antara tujuan mulia dari canda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabatnya adalah untuk mendekatkan diri kepada mereka. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, berikanlah aku tunggangan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kami akan memberimu anak unta.” Laki-laki itu berkata: “Apa yang bisa aku lakukan dengan anak unta?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukankah unta melahirkan anak unta?” (HR. Abu Dawud, hadits shahih).

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai yang memiliki dua telinga.” Usamah (perawi) berkata: “Maksudnya, beliau bercanda dengannya.” (HR. Tirmidzi, hadits shahih).

Terkadang beliau bercanda untuk menghibur. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengunjungi kami, dan aku memiliki adik kecil yang dipanggil Abu Umair. Ia memiliki burung kecil yang ia mainkan, lalu burung itu mati. Suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan melihatnya sedih. Beliau bertanya: ‘Ada apa dengannya?’ Mereka menjawab: ‘Burung kecilnya mati.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh burung kecil itu?'” (HR. Abu Dawud, hadits shahih).

Namun perlu diingat bahwa bercanda memiliki batasan dan aturan. Di antaranya:

  1. Tidak berlebihan dalam bercanda. Canda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sedang, tidak berlebihan. Bercanda yang berlebihan dapat menghilangkan kewibawaan dan menyebabkan kesalahan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yang dilarang adalah bercanda yang berlebihan atau terus-menerus, karena dapat melalaikan dari mengingat Allah dan merenungkan urusan agama. Hal itu juga dapat menyebabkan kerasnya hati, menyakiti, dendam, dan hilangnya kewibawaan. Bercanda yang selamat dari hal itu adalah yang mubah, dan jika disertai maslahat seperti menyenangkan hati lawan bicara, maka ia disukai.”
  2. Tidak mengandung kebohongan. Saat ini, banyak orang yang berbohong dalam bercanda, menciptakan cerita dan kisah yang tidak benar hanya untuk membuat orang tertawa. Hadits yang shahih mengancam orang yang melakukan hal itu: “Celakalah orang yang berbicara lalu berbohong untuk membuat orang tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits hasan).
  3. Tidak mengandung penghinaan terhadap agama. Seperti menghina Al-Qur’an, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, malaikat, surga, neraka, atau azab kubur. Saat ini, banyak beredar lelucon atau candaan tentang malaikat, nabi, sahabat, Al-Qur’an, dan Sunnah. Ini adalah hal yang sangat berbahaya, dan jika dilakukan dengan sengaja dan niat buruk, dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam—na’udzubillah.
  4. Tidak mengandung ghibah atau menyakiti. Baik menyakiti fisik maupun perasaan. Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.” (QS. Al-Hujurat: 12). Hal-hal ini dapat menyakiti perasaan orang beriman, dan mungkin berujung pada kekerasan fisik, sehingga Allah mengharamkannya.
  5. Tidak merendahkan diri di hadapan orang lain. Seseorang tidak boleh menjadikan dirinya bahan tertawaan atau pelawak bagi masyarakat. Saat ini, ada acara yang dikenal dengan ‘standup comedy’ di berbagai media yang tujuannya mencari popularitas dengan merendahkan diri di depan orang lain atau bahkan menghina orang lain agar  membuat orang tertawa dan menambah jumlah pengikut.
  6. Tidak menghilangkan penghormatan kepada orang yang memiliki kewibawaan. Seseorang tidak boleh bercanda dengan orang yang lebih tua atau ulama dengan cara yang tidak pantas. Harus ada perbedaan antara bercanda dengan teman dan bercanda dengan orang yang memiliki kedudukan dan kewibawaan.
  7. Memperhatikan perasaan orang lain. Seseorang harus memperhatikan perasaan orang lain dan tidak melukai perasaan mereka. Tujuannya bukan hanya membuat sebanyak mungkin orang tertawa, tetapi juga menjaga perasaan orang lain.
  8. Tidak mengandung kekejian. Beberapa lelucon yang disebut “lucu” oleh masyarakat umum sebenarnya adalah kata-kata yang tidak sopan dan vulgar, terutama yang berkaitan dengan aurat atau hubungan suami-istri. Allah Ta’ala tidak menyukai ucapan yang buruk, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkata kasar atau keji.
  9. Tidak menakut-nakuti atau merugikan orang lain. Seperti menyembunyikan kunci mobil orang lain, mencuri, atau mengambil barang berharga milik orang lain. Hal ini dapat menimbulkan ketakutan dan kerugian.
  10. Pada waktu yang tepat. Bercanda tidak boleh dilakukan saat sedang memberikan nasihat, mengingatkan tentang kematian, atau dalam majelis ilmu yang serius.

Namun patut juga diperhatikan bahwa berlebihan dalam bercanda memiliki konsekuensi yang buruk, di antaranya:

  1. Terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu terlalu banyak tertawa, karena terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi, hadits shahih).
  2. Terlalu banyak bercanda dapat menyebabkan kelalaian. Kelalaian adalah sifat orang kafir. Allah Ta’ala berfirman: “Biarkanlah mereka tenggelam dalam kesesatan dan permainan mereka hingga mereka menemui hari yang dijanjikan kepada mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 83). Pada hari Kiamat, mereka akan ditanya: “Apa yang memasukkan kamu ke dalam neraka Saqar?” Mereka akan menjawab: “Kami dahulu termasuk orang-orang yang bermain-main.” (QS. Al-Muddatstsir: 42, 45). Seorang Muslim membutuhkan hati yang hidup, tidak diliputi kelalaian.
  3. Dapat menghilangkan kewibawaan. Jika seseorang terlalu banyak bercanda, kewibawaannya akan berkurang, dan orang-orang bodoh akan berani kepadanya. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yang terlalu banyak bercanda, ia akan diremehkan.” Dan dikatakan: “Bercanda dapat menghilangkan kewibawaan dan memutus persahabatan.”
  4. Dapat menimbulkan permusuhan. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: “Bertakwalah kepada Allah, dan hindarilah bercanda, karena ia dapat menimbulkan permusuhan dan mengarah pada hal yang buruk.” Dan dikatakan: “Segala sesuatu memiliki benih, dan benih permusuhan adalah bercanda.”
  5. Dapat mengarah pada hal yang haram. Terutama jika disertai dengan pelanggaran syariat, seperti menakuti-nakuti. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dalam perjalanan, lalu salah seorang dari mereka tidur. Sebagian dari mereka mengambil tali miliknya, lalu orang itu ketakutan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menakuti Muslim lainnya.” (HR. Abu Dawud, hadits shahih). Beliau juga bersabda: “Janganlah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik dalam keadaan serius maupun bercanda. Barangsiapa yang mengambil tongkat saudaranya, hendaknya ia mengembalikannya.” (HR. Abu Dawud, hadits hasan).
  6. Dapat menyebabkan bahaya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seorang dari kalian mengancam saudaranya dengan senjata, karena ia tidak tahu apakah setan akan menguasainya, sehingga ia terjatuh ke dalam jurang neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim: “Barangsiapa yang mengancam saudaranya dengan senjata, maka malaikat akan melaknatnya hingga ia berhenti, meskipun ia adalah saudara kandungnya.” (HR. Muslim).
  7. Dapat melanggar batasan Allah. Terkadang bercanda dapat mengarah pada dosa besar, seperti menghina Al-Qur’an, hadits, hukum syariat, atau ulama. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang munafik pada perang Tabuk, mereka menghina Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Allah Ta’ala berfirman: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab: ‘Kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?'” (QS. At-Taubah: 65).

Dan di antara cara untuk mengurangi bercanda yang berlebihan adalah dengan mengingat keadaan akhirat dan dekatnya ajal, merenungkan tujuan penciptaan kita, mematuhi adab syariat dalam bercanda, mengisi waktu luang dengan amal yang bermanfaat, bergaul dengan orang-orang baik, dan orang-orang yang serius dalam hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *