Seseorang yang merenungkan kitab Allah Z dan berbagai hukum serta ibadah di dalamnya akan menyaksikan bentuk-bentuk rahmat Allah dalam pensyariatan hukum dan ibadah tersebut. Terkadang rahmat itu terlihat dalam pentahapan dalam kewajibannya, terkadang dalam kemudahan pelaksanaannya, dan terkadang dalam penghapusan kesulitan bagi orang-orang yang memiliki uzur, serta bentuk-bentuk lainnya. Semua ini disesuaikan dengan fitrah manusia dan kemampuan orang yang dibebani (mukallaf). Ayat-ayat yang menunjukkan hal ini sangat banyak, di antaranya adalah firman Allah:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Dan firman-Nya:
“Dan Kami tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Mu’minun: 62)
Syaikh As-Sa’di -rahimahullah- berkata:
“Allah mengabarkan bahwa Dia tidak membebani {نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا} yaitu sesuai dengan kemampuannya, dan tidak melebihi kekuatannya. Ini merupakan rahmat dan hikmah dari-Nya, untuk memudahkan jalan menuju pada-Nya, dan agar jalan orang-orang yang menuju kepada-Nya selalu terisi.” 1
Puasa termasuk ibadah jasmani yang secara lahir terlihat berat dan sulit bagi jiwa, karena ia menuntut pengendalian hawa nafsu dan mengontrol keinginan-keinginan serta menundukkannya pada perintah dan larangan. Namun, bagi yang merenungkan hakikat ibadah ini dan melihatnya dengan kacamata pertimbangan, akan melihat manifestasi rahmat yang meliputinya dari segala sisi.
Perwujudan Rahmat Allah Dalam Ayat-ayat Puasa
1. Syariat Puasa Turun Secara Bertahap
Perlu dicatat bahwa pensyariatan puasa melalui beberapa tahapan bertahap, dimulai dengan perintah berpuasa pada hari ‘Asyura dan tiga hari setiap bulan, kemudian perintah berpuasa Ramadhan bagi yang mampu dari waktu Isya hingga Maghrib keesokan harinya, dan akhirnya diwajibkan puasa Ramadhan pada tahap ketiga dengan ketentuan yang kita kenal sekarang, yaitu dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Meskipun tahapan ini tidak kita rasakan sekarang karena terkait dengan masa pensyariatan, namun ini mencerminkan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya, di mana Dia mempersiapkan jiwa-jiwa untuk menerima ibadah ini hingga mereka merasakan manisnya dan merasa tenang dengannya, lalu Allah menyempurnakan pensyariatannya.
2. Kemudahan-kemudahan dalam Puasa
Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berpuasa pada hari-hari tertentu, bukan sepanjang tahun atau setengah tahun. Allah berfirman:
“Beberapa hari tertentu.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ini karena Allah tahu kelemahan hamba-Nya dalam menanggung puasa sepanjang tahun atau setengah tahun, sehingga Dia menghilangkan kesulitan dan membebani mereka sesuai kemampuan, sebagai bentuk rahmat dan karunia-Nya.
Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya mengatakan:
“Kemudian Allah menjelaskan jumlah hari puasa, bahwa puasa tidak dilakukan setiap hari, agar tidak memberatkan jiwa sehingga mereka lemah dalam menanggung dan melaksanakannya.”2
Sebagai bentuk rahmat-Nya, Allah tidak melarang orang-orang yang memiliki tekad kuat untuk berpuasa sunnah setelah Ramadhan. Dia membuka pintu puasa sunnah sepanjang tahun bagi siapa saja yang ingin menambah amal dan merasa mampu melakukannya.
3. Ada Keringanan Bagi Yang Udzur
Allah memberikan keringanan bagi orang yang sakit atau sedang dalam perjalanan untuk tidak berpuasa selama masa sakit atau perjalanan, sebagai bentuk penghilangan kesulitan. Namun, mereka diwajibkan mengganti puasa di hari lain agar jumlah puasa tetap lengkap dan hamba dapat mencapai tujuannya. Allah berfirman:
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Dan dalam ayat berikutnya:
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Allah menjelaskan hikmah di balik ini dengan firman-Nya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu, dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Allah menginginkan kemudahan bagi hamba-Nya, bukan kesulitan. Oleh karena itu, wajib bagi hamba-Nya untuk mengagungkan dan mensyukuri rahmat serta kemudahan ini.
Adapun orang tua dan orang yang memiliki penyakit kronis yang menyulitkan mereka untuk berpuasa, Allah memberikan keringanan dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Allah berfirman:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ini sebagai bentuk penghiburan dan penghilangan kesulitan bagi mereka, berkat rahmat dan karunia Allah.
4. Kemudahan pada Malam Puasa
Allah menghalalkan bagi hamba-Nya pada malam puasa apa yang diharamkan selama puasa, seperti makan, minum, dan hubungan suami-istri, dari terbenam matahari hingga terbit fajar. Ini berbeda dengan ketentuan awal pensyariatan puasa. Allah berfirman:
“Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu, karena itu Dia menerima taubatmu dan memaafkanmu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Imam Ibn Katsir -rahimahullah- berkata:
“Ini adalah keringanan dari Allah bagi umat Islam, dan penghapusan ketentuan awal dalam Islam. Dahulu, jika seseorang berbuka, ia hanya boleh makan, minum, dan berhubungan suami-istri hingga shalat Isya atau tidur sebelum itu. Jika ia tidur atau shalat Isya, haram baginya makan, minum, dan berhubungan suami-istri hingga malam berikutnya.” 3
Para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- merasakan kesulitan dalam hal ini, sehingga mereka mengadukannya kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kemudian Allah menghilangkan kesulitan ini dari mereka dan umat setelahnya, serta menghalalkan apa yang sebelumnya diharamkan pada malam puasa, dari terbenam matahari hingga terbit fajar, sebagai bentuk rahmat dan karunia-Nya.
Setelah kita merenungkan beberapa manifestasi rahmat dalam pensyariatan puasa, dan melihat bagaimana Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali dengan yang penuh rahmat dan kemudahan, serta menghilangkan segala kesulitan, seharusnya hal ini memengaruhi jiwa seorang mukmin. Ia harus merasakan karunia dan kemurahan Allah, bersungguh-sungguh dalam mensyukuri pensyariatan ibadah ini, serta menjalankannya dengan sebaik-baiknya tanpa merasa berat. Selain itu, rahmat ini seharusnya tercermin dalam perilaku dan akhlak orang yang berpuasa, seperti memberi makan orang miskin dan membantu yang membutuhkan, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang mulia.
Catatan Kaki