Esensi Tilawah: Antara Bacaan, Penghayatan, dan Amal

Tilawah Al-Qur’an Al-Karim memiliki gaya unik dan indah, yang selaras dengan syariat serta sesuai dengan fitrah manusia. Gaya ini bertujuan untuk mengulang-ulang ayat-ayat suci, sebagaimana diajarkan dalam firman Allah:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ

“Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu dari Kitab Tuhanmu.” (QS. Al-Kahfi: 27)

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

“Maka bacalah apa yang mudah dari Al-Qur’an.” (QS. Al-Muzzammil: 20)

Keunikan tilawah Al-Qur’an terletak pada beberapa aspek utama:

  1. Membenarkan pengucapan huruf.
  2. Menguasai waqaf (berhenti).
  3. Merenungkan makna dan memahami pesan.
  4. Menggunakan kelembutan suara serta keindahan pengucapan.
  5. Melakukan pengulangan ayat-ayatnya.

Rasulullah ﷺ menganjurkan agar Al-Qur’an dibedakan dari bentuk ucapan lain dalam penyampaian serta pengungkapan. Hal ini selaras dengan kemuliaan dan kesucian tujuan Al-Qur’an. Sebagaimana diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يُقْرَأَ الْقُرْآنَ كَمَا أُنزِلَ

“Sesungguhnya Allah menyukai Al-Qur’an dibaca sebagaimana ia diturunkan.”

Untuk memahami hakikat tilawah sesuai sebagaimana ia diturunkan, kita dapat merujuk pada firman Allah berikut:

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil.” (QS. Al-Muzzammil: 4)

وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

“Dan Kami membacakannya secara tartil.” (QS. Al-Furqan: 32)

Tartil adalah metode bijaksana yang menjadi ciri khas tilawah Kitabullah. Metode ini dianjurkan dalam banyak ayat sebagai bentuk perintah yang menegaskan kewajiban, pentingnya, atau prioritasnya. Tartil memadukan antara kejelasan dan ketepatan dalam pengucapan, keindahan suara dan Pemahaman yang mendalam terhadap makna ayat-ayatnya. Dan tilawah Al-Qur’an tidak boleh disampaikan seperti membaca syair yang berirama dan penuh emosi, atau seperti khutbah yang lantang dengan suara bergema, atau seperti membacakan cerita atau kisah yang menarik dan memukau maupun seperti  membaca bacaan ilmiah yang kering.

Sebaliknya, bacaan Al-Qur’an memerlukan keselarasan antara kemuliaan pesan dengan tata cara membacanya, inilah yang disebut tartil.

Makna Tartil dalam Tilawah Al-Qur’an

Dalam bahasa Arab, tartil berarti mengucapkan perkataan secara berurutan, dengan menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya secara perlahan, disertai suara yang indah dan penyampaian yang lembut. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkannya sebagai penjelasan dan pengungkapan, sementara Mujahid menjelaskannya sebagai perlahan dan hati-hati. Adh-Dhahak berkata:

إنَّه إخراج الكلام حرفًا حرفًا

“Tartil adalah mengucapkan perkataan huruf demi huruf.”

Cara Rasulullah ﷺ Membaca Al-Qur’an

Beberapa istri Rasulullah ﷺ, yang paling dekat dengan beliau dan paling memahami kelembutannya, menggambarkan cara beliau membaca Al-Qur’an:

Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan,

كان يقرأ السُّورة حتى تكونَ أطول مِن التي هي أطولُ منها

“Beliau membaca suatu surah hingga terasa lebih panjang dari surah yang sebenarnya lebih panjang.”

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha juga berkata,

كان يُفسِّرها حرفًا حرفًا

“Beliau membacanya huruf demi huruf.”

Keindahan Bacaan Rasulullah ﷺ

Riwayat-riwayat yang ada menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memberikan perhatian pada keindahan bacaan dan penyampaian, tanpa melupakan tujuan utama tilawah: mengambil manfaat dan peringatan. Beliau ﷺ mengonsentrasikan pikiran dan hati dalam tilawah untuk mencapai pemahaman agama yang mendalam serta mendapatkan hikmah dan hukum dari Al-Qur’an.

Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengulang satu ayat sepanjang malam hingga subuh. Ayat tersebut adalah:

إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 118)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pelayan Rasulullah ﷺ selama sembilan tahun, mengatakan bahwa beliau membaca Al-Qur’an dengan memanjangkan suara. Anas mencontohkan bacaan beliau seperti ini: “Bismillahirrahmanirrahim,” dengan memanjangkan kata “Allah,” “Ar-Rahman,” dan “Ar-Rahim.”

Inti dan Tujuan Tartil dalam Tilawah Al-Qur’an

Dari sini, kita dapat melihat bahwa inti dari tartil yang diharapkan dalam membaca Kitabullah adalah memperbaiki pengucapan huruf dan memahami waqaf (berhenti di tempat yang tepat).

Hal ini sesuai dengan riwayat dari Ali radhiyallahu ‘anhu. Selain itu, tartil juga dilengkapi dengan menghiasi bacaan dengan suara yang indah dan penyampaian yang merdu.

Ibnu Al-Jazari dalam kitabnya An-Nasyr fil Qira’atil ‘Asyr menyatakan: “Kami telah menemukan di antara guru-guru kami orang yang membaca Al-Qur’an dengan tajwid yang benar sebagaimana ia diturunkan, sehingga pendengaran merasa nikmat dengan bacaannya, hati menjadi khusyuk saat mendengarnya, hingga hampir membuat akal terpesona dan menarik perhatian. Ini adalah salah satu rahasia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.”

Tujuan Utama Tartil

Namun, jika seseorang hanya berfokus pada aspek pelengkap seperti keindahan suara dan harmoni penyampaian, tetapi mengabaikan tujuan utama tartil—yaitu pemahaman yang mendalam terhadap hikmah, hukum, dan pelajaran Al-Qur’an—maka manfaat tartil akan hilang. Ini dianggap sebagai penyimpangan dari makna tartil yang sebenarnya, yang membedakan Al-Qur’an dari bacaan lainnya.

Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi pernah berkata:

لأنْ أقرأَ في ليلتي حتى أصبح: “إذا زلزلت الأرض”، و”القارعة” لا أزيد عليهما، وأتردَّد فيهما، وأتفكَّر – أحبُّ إليَّ من أن أهذَّ القرآن هذًّا

“Aku lebih suka membaca ‘Idza Zulzilatil Ardhu’ dan ‘Al-Qari’ah’ sepanjang malam hingga subuh, mengulang-ulang dan merenungkannya, daripada membaca Al-Qur’an dengan cepat tanpa perenungan.”

Keindahan Suara dalam Tartil Al-Qur’an

Rasulullah ﷺ menyukai suara yang indah dalam tartil ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam tartil, keindahan penyampaian berpadu dengan kesucian makna, sementara keindahan lahiriah menyatu dengan kesempurnaan batiniah. Oleh karena itu, beliau ﷺ senang mendengarkan bacaan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Ummi Abd. Ibnu Mas’ud memiliki suara yang merdu dan penyampaian yang memukau.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada para sahabat:

مَن أحبَّ أن يقرأ القرآنَ غضًّا كما أُنزل، فليقرأْ قراءةَ ابنِ أمِّ عبد

“Barangsiapa ingin membaca Al-Qur’an dengan segar sebagaimana ia diturunkan, maka bacalah seperti bacaan Ibnu Ummi Abd.”

Dalam Shahihain, disebutkan bahwa bacaan Ibnu Mas’ud pernah membuat Rasulullah ﷺ menangis. Utsman An-Nahdi 1 berkata:

صلَّى بنا ابنُ مسعود المغرب بـ: ﴿قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ﴾ [الإخلاص: 1]، ووالله لوددتُ أنَّه قرأ بسورة البقرة مِن حُسن صوته وترتيله

“Ibnu Mas’ud pernah mengimami kami shalat Maghrib dengan membaca ‘Qul Huwallahu Ahad,’ dan demi Allah, aku berharap dia membaca Surah Al-Baqarah karena keindahan suara dan tartilnya.”

Pandangan Salafus Shalih tentang Tilawah

Pendapat yang umum di kalangan salafus shalih adalah bahwa tilawah dengan pemahaman yang mendalam dan bacaan yang sedikit lebih baik daripada tilawah yang banyak tetapi dangkal.

Tujuan utama tilawah adalah merenungkan dan memahami mutiara berharga dalam Al-Qur’an, serta cahaya hidayah dan hikmah yang dipancarkannya. Hal ini hanya bisa dicapai dengan kehadiran hati dan keterbukaan jiwa saat membaca atau mendengarkan Al-Qur’an.

Pendapat Ulama tentang Kecepatan Membaca

Mujahid pernah ditanya tentang dua orang, satu membaca Surah Al-Baqarah saja, satu lagi membaca Al-Baqarah dan Ali Imran, dengan ruku’ dan sujud yang sama. Mujahid menjawab: “Orang yang membaca Al-Baqarah saja lebih baik.”

Dalam Shahih Al-Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah menegur seseorang yang membaca seluruh Surah Al-Mufassal dalam satu malam. Beliau bertanya:

أَهَذًّا كَهَذِّ الشِّعر؟!

“Apakah kamu membaca Al-Qur’an seperti membaca syair?” Ini adalah kritik terhadap cara membaca yang terburu-buru tanpa merenungkan makna.

Adab Tilawah Menurut Ibnu Mas’ud

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga berkata:

جَوِّدوا القرآن، وزيِّنوه بأحسَن الأصوات، وأعربوه فإنَّه عربي، واللهُ يحبُّ أن يعرب به

“Perindahlah Al-Qur’an dengan suara yang indah, dan ucapkanlah dengan jelas karena ia adalah bahasa Arab, dan Allah menyukai Al-Qur’an diucapkan dengan jelas.”

لا تَنثروا القرآن نَثرَ الدَّقل، ولا تهذُّوه هذَّ الشِّعر

“Janganlah kamu membaca Al-Qur’an seperti membaca kurma yang buruk, dan jangan membacanya dengan cepat seperti membaca syair.

Kurma yang buruk (ad-daqal) adalah kurma yang paling jelek, digunakan sebagai kiasan untuk bacaan yang terburu-buru dan tidak berkualitas.

Keindahan Bacaan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu

Salah satu sahabat yang membuat Rasulullah ﷺ terpesona dengan bacaannya adalah Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang dikenal memiliki suara emas nan indah. Suatu ketika, Nabi ﷺ mendengar Abu Musa membaca Al-Qur’an dari balik dinding rumahnya. Beliau berhenti sejenak, terpesona oleh keindahan suara dan penyampaiannya. Ketika Abu Musa mengetahui hal tersebut, ia berkata kepada Rasulullah ﷺ:

لو علمتُ بوقوفك لحبَّرْتُه لك تحبيرًا

“Seandainya aku tahu engkau mendengarkan, niscaya aku akan memperindah bacaanku untukmu.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa memperindah tartil tidak memiliki batas tertentu, selama tidak merusak makna dan tidak melalaikan dari tujuan utama tilawah.

Keindahan Suara dalam Tilawah

Ketika membahas keindahan suara dan penyampaian dalam tilawah, penting untuk diingat bahwa hal ini tidak berarti melampaui batas atau meremehkan adab tilawah. Sebagaimana tidak boleh mengabaikan:

  1. Kebenaran huruf dan waqaf.
  2. Tidak boleh pula berlebihan dalam pengucapan hingga menjadi tidak wajar.

Abu Amr Ad-Dani berkata: “Tajwid bukanlah dengan memutar-mutar lidah, membuka mulut lebar, memiringkan rahang, menggetarkan suara, memanjangkan bacaan secara berlebihan, atau memotong-motong mad. Tajwid adalah bacaan yang mudah, lembut, dan indah, tanpa berlebihan atau dibuat-buat, serta tidak keluar dari kebiasaan bahasa Arab dan ucapan orang fasih.”

Kerangka Tartil yang Ideal

Kerangka yang memungkinkan tartil tampil sempurna bertumpu pada:

  1. Kebenaran huruf.
  2. Pemahaman waqaf.
  3. Menghiasi bacaan dengan suara yang indah.
  4. Perenungan mendalam dan pemahaman yang baik.

Inilah tilawah ideal dari Al-Qur’an Al-Karim.

Ekstrem dalam Tilawah: Tahqiq dan Hadr

Di sisi lain, ada dua metode lain yang mewakili ekstrem berlebihan dan meremehkan, yaitu tahqiq dan hadr. Tahqiq adalah memperhatikan detail pengucapan huruf, seperti memanjangkan, menguatkan hamzah, menyempurnakan harakat, dan memperjelas tasydid. Metode ini sebaiknya hanya digunakan oleh pelajar untuk melatih pengucapan. Sedangkan hadr adalah membaca dengan cepat sambil tetap menjaga kebenaran huruf dan i’rab. Beberapa orang menggunakan metode ini untuk mendapatkan pahala lebih banyak, tetapi sebenarnya pahala tilawah dengan tartil dan perenungan lebih tinggi daripada tilawah yang banyak tetapi cepat.

Kesimpulannya, metode tilawah Al-Qur’an yang terbaik adalah tartil, sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an. Inti dari tartil adalah kebenaran huruf, pemahaman waqaf, serta penyampaian yang indah dan perenungan yang mendalam. Berlebihan dalam pengucapan huruf, baik dengan tahqiq atau tarannum, dapat mengeluarkan bacaan dari tilawah yang sahih

Kesimpulannya, tilawah yang terbaik adalah dengan tartil, sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an. Inti dari tartil mencakup kebenaran huruf, pemahaman waqaf, penyampaian yang indah, serta perenungan yang mendalam. Keindahan ini tidak hanya meningkatkan kualitas bacaan, tetapi juga membawa pembaca lebih dekat kepada hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an.

 

Catatan Kaki
  1. Abu Utsman Al-Nahdi (Abdurrahman bin Mil atau Ibnu Mili) adalah seorang Imam dan perawi hadis yang terkemuka, dikenal sebagai mukhadram (seseorang yang hidup di masa sebelum dan sesudah datangnya Islam). Ia hidup lebih dari 130 tahun, menyaksikan era Jahiliyah dan Islam, serta dianggap sebagai salah satu ulama terkemuka pada masanya. Ia ikut serta dalam pertempuran penting di bawah pemerintahan Umar bin Khattab, termasuk Pertempuran Yarmouk, dan menunaikan ibadah haji sebanyak 60 kali. Ia meriwayatkan hadis dari banyak sahabat, dan banyak tabiin yang meriwayatkan hadis darinya.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *