Hadis ini diriwayatkan oleh An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda:
“Kebajikan itu adalah akhlak yang baik, dan dosa itu adalah apa yang membuatmu merasa ragu dalam dirimu dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: ‘Apakah kamu datang untuk bertanya tentang kebajikan (al-birr)?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau lalu bersabda: ‘Mintalah fatwa dari hatimu. Kebajikan adalah apa yang menenangkan jiwa dan menentramkan hati. Sedangkan dosa adalah apa yang menggelisahkan jiwa dan menimbulkan keraguan dalam dada, meskipun orang-orang memberimu fatwa (yang membolehkannya).” (Hadits hasan, diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad dan Musnad Ad-Darimi dengan sanad yang hasan.)
Penjelasan:
Keagungan agama Islam terletak pada syariatnya yang paripurna, yang mengatur semua sendi kehidupan manusia dan menjadi solusi dari setiap permasalahan mereka. Syariat ini mencakup aturan dan prinsip yang menentukan sikap manusia terhadap segala sesuatu dalam kehidupan. Di satu sisi, Allah menghalalkan yang baik-baik dan memperkenalkan segala yang bermanfaat bagi manusia. Di sisi lain, Dia mengharamkan yang buruk-buruk dan melarang manusia mendekatinya, sebagai gantinya Allah menjadikan beragam kebaikan yang membuat manusia berpaling dari yang haram itu.
Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengikuti syariat dan mematuhi hukum-hukumnya. Langkah pertama dalam menjalankan perintah ini adalah membedakan apa yang dicintai Allah dari apa yang tidak, serta memahami standar yang jelas dalam hal ini. Dalam konteks inilah, Imam Nawawi menyebutkan dua hadits yang menjelaskan definisi kebajikan (al-birr) dan dosa (al-itsm), serta tanda-tanda masing-masing.
- Kebajikan (al-Birr):
Kata ini mencakup semua perbuatan baik dan sifat-sifat mulia. Dalam hadits pertama, kebajikan dijelaskan sebagai akhlak yang baik. Sedangkan dalam hadits Wabishah, kebajikan diartikan sebagai apa yang menenangkan jiwa dan hati. Perbedaan penjelasan ini menunjukkan berbagai jenis kebajikan.- Kebajikan terhadap makhluk: Berbuat baik dalam berinteraksi dengan mereka, seperti berbuat lemah lembut, menahan diri dari menyakiti, memaafkan kesalahan orang lain, dan berkomunikasi dengan cara yang baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu: “Kebajikan itu sederhana: wajah yang berseri dan ucapan yang lembut.”
- Kebajikan terhadap Sang Pencipta: Mencakup semua jenis ketaatan, baik yang lahir maupun batin. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 177):
“Bukanlah kebajikan itu menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat, tetapi kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, dan orang yang meminta-minta; serta mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janji ketika berjanji, serta bersabar dalam kesulitan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Seseorang disebut sebagai orang yang berbakti (al-abrar) jika ia menaati perintah-perintah ini dan berpegang teguh pada batasan-batasan Allah.
- Dosa (al-Itsm):
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendefinisikan dosa sebagai sesuatu yang menggelisahkan jiwa dan membuat seseorang tidak ingin orang lain mengetahuinya. Dosa memiliki dua tanda:- Tanda batin: Perasaan gelisah dan ragu-ragu saat melakukan suatu perbuatan. Ini biasanya menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah dosa.
- Tanda lahir: Keengganan untuk diketahui oleh orang lain, terutama orang-orang baik atau sholeh. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka itu baik di sisi Allah. Dan apa yang dianggap buruk oleh mereka, maka itu buruk di sisi Allah.”
Maka, mengembalikan penilaian kepada ketenangan jiwa atau kegelisahannya menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan naluri untuk merasa tenang terhadap kebenaran. Kepekaan ini dimiliki oleh hati yang beriman yang belum dikotori oleh maksiat dan keinginan hawa nafsu.
Tiga Kondisi dalam Menghadapi Keraguan:
- Jika ada keraguan dalam hati bahwa suatu perbuatan adalah dosa, dan fatwa berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah menyatakan bahwa itu dosa: Maka perbuatan itu jelas haram dan harus dihindari.
- Jika ada keraguan dalam hati, tetapi fatwa menyatakan bahwa perbuatan itu boleh:
- Jika fatwa tersebut tidak didasarkan pada dalil yang jelas, maka lebih baik meninggalkannya sebagai bentuk kehati-hatian (wara’).
- Jika fatwa tersebut didasarkan pada dalil yang jelas, seseorang boleh meninggalkannya karena kehati-hatian, tetapi tidak boleh mengharamkannya atau memaksa orang lain untuk meninggalkannya.
- Jika tidak ada keraguan atau kegelisahan dalam hati: Maka seseorang harus mengikuti pendapat ulama dalam hal yang halal dan haram, sebagaimana firman Allah:
“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)
Kesimpulan:
- Kebajikan: Apa yang menenangkan jiwa dan hati, mencakup semua kebaikan dan ketaatan.
- Dosa: Apa yang menggelisahkan jiwa dan menimbulkan keraguan, serta tidak ingin diketahui oleh orang shaleh.
- Kehati-hatian (Wara’): Meninggalkan sesuatu yang meragukan, meskipun ada fatwa yang membolehkannya, terutama jika fatwa tersebut tidak jelas dasarnya.
Hadits ini mengajarkan kita untuk mengandalkan hati dan fitrah yang suci dalam membedakan yang baik dan buruk, sambil merujuk pada pendapat ulama dan dalil-dalil syar’i. Ini menunjukkan keagungan Islam dalam membimbing manusia untuk selalu mengawasi dirinya sendiri dan mengembangkan sikap kehati-hatian dalam beribadah kepada Allah.