Meraih Kelezatan dalam Ibadah: Karunia Allah yang Tiada Tara

Salah satu karunia terindah yang Allah anugerahkan kepada hamba-Nya adalah kemampuan untuk merasakan kelezatan dalam beribadah. Yang dimaksud adalah ketenangan jiwa, kebahagiaan hati, dan kelapangan dada yang dirasakan seorang muslim saat menjalankan ibadah. Tingkat kelezatan ini berbeda pada setiap orang, sesuai dengan kuat atau lemahnya iman.

Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Oleh karena itu, sudah selayaknya seorang muslim bersungguh-sungguh meraih kelezatan ibadah ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Bilal,

قم يا بلال فأرحنا بالصلاة

 “Wahai Bilal, bangunlah (untuk azan) dan istirahatkanlah kami dengan shalat.” 1 Ucapan ini menunjukkan betapa beliau menemukan ketenangan dan kebahagiaan hati dalam shalat. Lamanya beliau melaksanakan shalat malam juga menjadi bukti kebahagiaan beliau saat bermunajat kepada Rabb-nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah:
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45)

Saking nikmatnya ibadah, Mu’adz bin Jabal sampai menangis ketika hendak meninggal dunia. Saat ditanya alasannya, ia berkata, “Aku menangis karena akan berpisah dengan rasa dinginnya (siang) yang terik (karena berpuasa), shalat malam di musim dingin, dan bergaul dengan para ulama di majelis-majelis zikir.”

Ibnu Taimiyah Rahimahullah pernah berkata,

إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لَمْ يَدْخُلْ جَنَّةَ الآخِرَةِ

“Sesungguhnya di dunia ini ada surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan masuk surga di akhirat.” 2

Seorang ulama salaf juga pernah berucap, “Alangkah malangnya ahli dunia. Mereka meninggalkan dunia padahal belum merasakan sesuatu yang paling lezat di dalamnya.” Ketika ditanya, “Apa yang paling lezat di dunia?” Ia menjawab, “Mencintai Allah Ta’ala, mengenal-Nya, dan mengingat-Nya,” 3

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa ketaatan memiliki ‘manisnya iman’ yang dapat dirasakan seorang mukmin.

Dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim), dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu, Nabi bersabda:

ثَلاثٌ مَنْ كنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءُ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ

“Tiga perkara yang barangsiapa memilikinya, niscaya ia akan merasakan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, (2) Ia mencintai seseorang hanya karena Allah, dan (3) Ia benci kembali kepada kekafiran sebagaimana bencinya dilemparkan ke dalam api.” 4

Sebab-Sebab Meraih Kelezatan Ibadah

Untuk meraih kenikmatan ini, ada beberapa sebab yang dapat kita usahakan:

1. Memerangi Nafsu untuk Taat kepada Allah

Pada awalnya, nafsu akan menolak untuk taat. Namun, jika seseorang bersungguh-sungguh dan memiliki tekad kuat, dengan izin Allah, ia akan meraihnya. Ini membutuhkan kesabaran ekstra. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 200)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

المجاهد من جاهد نفسه

“Orang yang berjihad adalah orang yang berjihad (melawan) hawa nafsunya.” 5

Seorang ulama salaf berkata, “Aku terus memaksa nafsuku kepada Allah sementara ia menangis, hingga akhirnya aku memaksanya dan ia pun tertawa.”

Ibnu Rajab mengatakan,

وَاعْلَمْ أَنَّ نَفْسَكَ بِمَنْزِلَةِ دَابَّتِكَ، إِنْ عَرَفْتَ مِنْكَ الْجِدَّ جَدَّتْ، وَإِنْ عَرَفْتَ مِنْكَ الْكَسَلَ طَمِعَتْ فِيكَ وَطَلَبَتْ مِنْكَ حَظُوظَهَا وَشَهَوَاتِهَا

“Ketahuilah, dirimu itu seperti hewan tungganganmu. Jika ia melihat kesungguhan darimu, ia akan patuh. Jika ia melihat kemalasanmu, ia akan menuntutmu memenuhi syahwatnya.”

2. Menjauhi Segala Dosa

Maksiat adalah penghalang besar untuk merasakan kelezatan ibadah. Dosa mengeraskan hati dan menjauhkan kita dari Allah. Sebagian salaf berkata,

مَا ضَرَبَ اللَّهُ عَبْدًا بِعُقُوبَةٍ أَعْظَمَ مِنْ قَسْوَةِ الْقَلْبِ

“Tidaklah Allah menimpakan hukuman yang lebih besar kepada seorang hamba daripada kekerasan hati.”

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah menjelaskan:

وَكُلَّمَا كَثُرَتِ الذُّنُوبُ اشْتَدَّتِ الْوَحْشَةُ وَأَمَرُّ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَوْحِشِينَ الْخَائِفِينَ وَأَطْيَبُ الْعَيْشِ عَيْشُ الْمُسْتَأْنِسِينَ فَلَوْ نَظَرَ الْعَاقِلُ وَوَازَنَ بَيْنَ لَذَّةِ الْمَعْصِيَةِ وَمَا تَوَلَّدَ فِيهِ مِنَ الْخَوْفِ وَالْوَحْشَةِ لَعَلِمَ سُوءَ حَالِهِ وَعَظِيمَ غَبْنِهِ

“Semakin banyak dosa, semakin kuat rasa jauh (dari Allah). Dan kehidupan yang paling getir adalah kehidupan orang yang merasa asing dan jauh (dari Allah). Sebaliknya, kehidupan yang paling nikmat adalah kehidupan orang yang merasa dekat dan akrab (dengan Allah). Seandainya orang yang berakal mau merenung dan membandingkan antara ‘lezatnya’ maksiat dengan rasa takut dan jauh yang ditimbulkannya, niscaya ia akan menyadari betapa buruk keadaannya dan betapa besar kerugiannya.” 6

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menegaskan:

إِذَا لَمْ تَجِدْ لِلْعَمَلِ حَلَاوَةً فِي قَلْبِكَ وَانْشِرَاحًا فِي صَدْرِكَ فَاتَّهِمْهُ، فَإِنَّ الرَّبَّ تَعَالَى شَكُورٌ، يَعْنِي أَنَّهُ لَابُدَّ أَنْ يُثِيبَ الْعَامِلَ عَلَى عَمَلِهِ فِي الدُّنْيَا مِنْ حَلَاوَةٍ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ، وَقُوَّةِ انْشِرَاحِ صَدْرٍ وَقُرَّةِ عَيْنٍ، فَحَيْثُ لَمْ يَجِدْ ذَلِكَ فَعَمَلُهُ مَدْخُولٌ

“Jika engkau tidak merasakan manisnya amal di hatimu, curigailah amalmu. Karena Allah Maha Pembalas budi (Syakur). Artinya, Dia pasti membalas pelaku amal di dunia dengan kelezatan hati, kelapangan dada, dan ketenangan. Jika hal itu tidak didapatkan, berarti amalnya cacat.” 7

Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata,

حُرِمْتُ قِيَامَ اللَّيْلِ بِسَبَبِ ذَنْبٍ أَذْنَبْتُهُ

“Aku diharamkan (merasakan nikmat) shalat malam karena sebuah dosa yang aku lakukan.” 8

3. Tidak Berlebihan dalam Hal Duniawi

Meninggalkan kelebihan dalam makan, minum, bicara, dan pandangan adalah kunci ketenangan. Cukupkan diri dengan apa yang menunjang ibadah dan pekerjaan. Allah berfirman:

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وَعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسَبِ ابْنِ آدَمَ أَكْلَاتٌ يَقُمُنَ صَلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah anak Adam mengisi wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah baginya beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika harus (melebihkannya), maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafasnya.” 9

Seorang ulama salaf berkat,

راحة القلب في قلة الآثام، وراحة البطن في قلة الطعام، وراحة اللسان في قلة الكلام

“Ketenangan hati ada pada sedikitnya dosa, ketenangan perut ada pada sedikitnya makanan, dan ketenangan lisan ada pada sedikitnya bicara.”

4. Menyadari Hakikat Ibadah

Seorang hamba harus menyadari bahwa setiap shalat, puasa, sedekah, atau haji yang dilakukannya adalah bentuk ketaatan untuk mencari ridha Allah. Ibadah inilah yang mendekatkannya kepada Rabbnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Qudsi:

“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada melaksanakan kewajiban yang Aku bebankan kepadanya… Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya, dan kakinya.” 10

5. Meyakini Pahala yang Kekal

Ibadah tidak akan pernah sia-sia. Berbeda dengan harta dan jabatan yang bisa lenyap, pahala ibadah justru akan ditemukan di saat kita paling membutuhkannya. Kita bahkan bisa merasakan buahnya di dunia, selain tentunya pahala agung di akhirat.

Allah berfirman:

وَمَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا

“Dan barangsiapa mengerjakan kebajikan sedang ia beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan zalim dan tidak (pula) khawatir akan pengurangan (pahalanya).” (QS. Thaha: 112)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مِنْ رِضَا بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

“Telah merasakan lezatnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasul-nya.” 11

Penutup

Sungguh, kelezatan ibadah adalah surga dunia yang Allah persiapkan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Ia adalah buah manis dari iman yang tertanam di hati, dibuktikan dengan amal ketaatan, dan dijaga dengan menjauhi segala yang haram. Semoga kita semua diberi taufik untuk tidak hanya sekadar menjalankan ibadah, tetapi juga untuk merasakan kenikmatan dan kebahagiaan sejati di dalamnya.

Catatan Kaki

  1. HR. Abu Dawud, hasan menurut Al-Albani[]
  2. Dinukil dari Majmu’ Al-Fatawa[]
  3. Dinukil dari biografi ulama salaf.[]
  4. HR. Al-Bukhari dan Muslim.[]
  5. HR. At-Tirmidzi, hasan menurutnya.[]
  6. Dinukil dari Al-Jawab Al-Kafi.[]
  7. Dinukil dari Majmu’ Al-Fatawa.[]
  8. Perkataan Sufyan Ats-Tsauri.[]
  9. HR. At-Tirmidzi, hasan shahih.[]
  10. HR. Al-Bukhari.[]
  11. HR. Muslim.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *