Imam Syafi’i adalah seorang ahli yang sangat mumpuni dalam berbagai ilmu. Hampir tidak ada ilmu yang ia lewatkan tanpa mendalaminya. Salah satu ilmu yang ia pelajari dan kuasai dengan baik adalah ilmu firasat. Pada masa Imam Syafi’i, ilmu firasat sedang berada di puncak kejayaannya. Saat itu, ada beberapa ahli firasat yang terampil dalam menilai seseorang berdasarkan penampilan lahiriahnya, dan penilaian mereka seringkali terbukti benar. Namun, mereka kerap menyebutkan keburukan orang di depan umum, sehingga membuat banyak ulama tidak nyaman. Para ulama pun menentang mereka dan bahkan menyatakan bahwa ilmu mereka batil dan tidak benar, agar orang-orang tidak lagi mendengarkan penilaian mereka yang merugikan.
Kecerdikan Imam Syafi’i
Di sinilah kecerdasan Imam Syafi’i terlihat. Untuk membuktikan kebenaran ilmu firasat, ia memutuskan pergi ke Yaman untuk mempelajarinya. Ia menghabiskan waktu tiga tahun di Yaman, mempelajari firasat hingga menguasainya dengan sangat baik.
Ujian Ilmu Firasat: Lelaki Bermata Biru yang Membingungkan
Diriwayatkan oleh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi dalam kitab Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu :
“Ahmad bin Salamah bin Abdullah An-Naisaburi menceritakan dari Abu Bakar bin Idris (sekretaris Al-Humaidi), ia berkata: Aku mendengar Al-Humaidi berkata bahwa Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah pernah bercerita:
Aku pergi ke Yaman untuk mencari kitab-kitab tentang firasat hingga aku berhasil mengumpulkannya. Ketika tiba saatnya pulang, aku melewati seorang lelaki yang sedang duduk di halaman rumahnya. Matanya biru, dahinya menonjol, dan tidak berjenggot (dalam kitab disebutkan: ia adalah orang yang tidak memiliki jenggot sama sekali).
Aku berkata kepadanya, ‘Apakah ada tempat menginap?’ Ia menjawab, ‘Ya.’
Imam Syafi’i berkata, ‘Ciri-ciri fisik seperti ini termasuk yang paling buruk dalam ilmu firasat!’
Namun, ia memberiku tempat menginap. Aku pun mendapati bahwa ia adalah orang yang sangat dermawan. Ia mengirimkan makanan, wewangian, pakan ternak, kasur, dan selimut untukku. Sepanjang malam, aku terus berpikir, ‘Apa yang harus aku lakukan dengan kitab-kitab ini? Aku melihat ciri-ciri buruk pada orang ini, tapi ternyata ia sangat baik.’ Akhirnya, aku berkata dalam hati, ‘Aku akan buang kitab-kitab ini!’
Kebenaran Terungkap di Pagi Hari
Ketika pagi tiba, aku berkata kepada pelayanku, ‘Pasang pelana!’ Ia pun melakukannya. Saat aku melewati lelaki itu lagi, aku berkata, ‘Jika engkau datang ke Mekkah dan melewati Dzu Thuwa, tanyalah rumah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.’
Lelaki itu berkata, ‘Apakah aku pernah menjadi budak ayahmu?’
Aku menjawab, ‘Tidak!’
Ia bertanya lagi, ‘Apakah aku pernah berbuat baik kepadamu?’
Aku menjawab, ‘Tidak!’
Ia berkata, ‘Lalu, mengapa aku bersusah payah melayanimu semalam?’
Aku bertanya, ‘Apa yang engkau lakukan?’
Ia menjawab, ‘Aku membelikanmu makanan seharga dua dirham, lauk pauk sekian, wewangian tiga dirham, pakan ternak dua dirham, dan sewa kasur serta selimut dua dirham.’
Aku berkata kepada pelayanku, ‘Berikan ia uangnya! Apakah masih ada yang kurang?’
Ia berkata, ‘Sewa rumah, karena aku memberimu tempat yang luas sementara aku sendiri sempit!’
Imam Syafi’i berkata, ‘Aku pun merasa lega karena kitab-kitab itu masih berguna.’
Kemudian aku bertanya lagi, ‘Masih ada yang kurang?’
Ia menjawab, ‘Pergilah, semoga Allah menghinakanmu! Aku belum pernah melihat orang sejahat kamu!’
Pelajaran Berharga dari Kisah Ini
Akhirnya, Imam Syafi’i memberinya apa yang ia minta dan pulang dengan gembira karena ilmu yang dipelajarinya tidak sia-sia. Setelah kembali, ia memberitahu para ahli firasat bahwa ilmu mereka benar, dengan syarat mereka tidak menyakiti orang lain dengan menyebutkan keburukan mereka di depan umum.